I. PENGERTIAN
• Gagal nafas
adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan
oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida (PaCO2) dan
pH yang adekuat disebabkanoleh masalah ventilasi difusi atau perfusi
(Susan Martin T, 1997)
• Gagal nafas
adalah kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan pertukaran
oksigen dankarbondioksida dalam jumlah yangdapat mengakibatkan gangguan
pada kehidupan (RS Jantung “Harapan Kita”, 2001)
• Gagal nafas
terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam
paru-paru tidak dapat memelihara laju komsumsioksigen dan pembentukan
karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan
oksigen kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan tekanan
karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg (hiperkapnia). (Brunner &
Sudarth, 2001)
II. PATOFISIOLOGI
Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik
dimana masing masing mempunyai pengertian yang bebrbeda. Gagal nafas
akut adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang parunyanormal
secara struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul.
Sedangkan gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit
paru kronik seperti bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam
(penyakit penambang batubara).Pasien mengalalmi toleransi terhadap
hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk secara bertahap. Setelah gagal
nafas akut biasanya paru-paru kembali kekeasaan asalnya. Pada gagal
nafas kronik struktur paru alami kerusakan yang ireversibel.
Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital,
frekuensi penapasan normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt
tindakan yang dilakukan memberi bantuan ventilator karena “kerja
pernafasan” menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitasvital
adalah ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg).
Gagal nafas penyebab terpenting
adalah ventilasi yang tidak adekuatdimana terjadi obstruksi jalan
nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan pernapasan terletak di
bawah batang otak (pons dan medulla). Pada kasus pasien dengan
anestesi, cidera kepala, stroke, tumor otak, ensefalitis, meningitis,
hipoksia dan hiperkapnia mempunyai kemampuan menekan pusat pernafasan.
Sehingga pernafasan menjadi lambat dan dangkal. Pada periode
postoperatif dengan anestesi bisa terjadi pernafasan tidak adekuat
karena terdapat agen menekan pernafasan denganefek yang dikeluarkanatau
dengan meningkatkan efek dari analgetik opiood. Pnemonia atau dengan
penyakit paru-paru dapat mengarah ke gagal nafas akut.
Klik gambar untuk memperbesar
III. ETIOLOGI
1. Depresi Sistem saraf pusat
Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat
pernafasan yang menngendalikan pernapasan, terletak dibawah batang otak
(pons dan medulla) sehingga pernafasan lambat dan dangkal.
2. Kelainan neurologis primer
Akan memperngaruhi fungsi pernapasan. Impuls yang timbul dalam pusat
pernafasan menjalar melalui saraf yang membentang dari batang otak
terus ke saraf spinal ke reseptor pada otot-otot pernafasan. Penyakit
pada saraf seperti gangguan medulla spinalis, otot-otot pernapasan atau
pertemuan neuromuslular yang terjadi pada pernapasan akan
sangatmempengaruhiventilasi.
3. Efusi pleura, hemotoraks dan pneumothoraks
Merupakan kondisi yang mengganggu ventilasi melalui penghambatan
ekspansi paru. Kondisi ini biasanya diakibatkan penyakti paru yang
mendasari, penyakit pleura atau trauma dan cedera dan dapat menyebabkan
gagal nafas.
4. Trauma
Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab gagal nafas.
Kecelakaan yang mengakibatkan cidera kepala, ketidaksadaran dan
perdarahan dari hidung dan mulut dapat mnegarah pada obstruksi jalan
nafas atas dan depresi pernapasan. Hemothoraks, pnemothoraks dan
fraktur tulang iga dapat terjadi dan mungkin meyebabkan gagal nafas.
Flail chest dapat terjadi dan dapat mengarah pada gagal nafas.
Pengobatannya adalah untuk memperbaiki patologi yang mendasar
5. Penyakit akut paru
Pnemonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pnemonia kimiawi atau
pnemonia diakibatkan oleh mengaspirasi uap yang mengritasi dan materi
lambung yang bersifat asam. Asma bronkial, atelektasis, embolisme paru
dan edema paru adalah beberapa kondisi lain yang menyababkan gagal
nafas.
IV. TANDA DAN GEJALA A. Tanda
Gagal nafas total
• Aliran udara di mulut, hidung tidak dapat didengar/dirasakan.
• Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supra klavikuladan sela iga serta tidak ada pengembangan dada pada inspirasi
• Adanya kesulitasn inflasi parudalam usaha memberikan ventilasi buatan
Gagal nafas parsial
• Terdenganr suara nafas tambahan gargling, snoring, Growing dan whizing.
• Ada retraksi dada
B. Gejala
• Hiperkapnia yaitu penurunan kesadaran (PCO2)
• Hipoksemia yaitu takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis (PO2 menurun)
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Pemerikasan gas-gas darah arteri
Hipoksemia
Ringan : PaO2 < style="font-weight: bold;">VI. PENGKAJIAN
Pengkajian Primer
1. Airway
• Peningkatan sekresi pernapasan
• Bunyi nafas krekels, ronki dan mengi
2. Breathing
• Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung, takipneu/bradipneu, retraksi.
• Menggunakan otot aksesori pernapasan
• Kesulitan bernafas : lapar udara, diaforesis, sianosis
3. Circulation
• Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia
• Sakit kepala
• Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental, mengantuk
• Papiledema
• Penurunan haluaran urine
VII. PENTALAKSANAAN MEDIS
• Terapi oksigen
Pemberian oksigen kecepatan rendah : masker Venturi atau nasal prong
• Ventilator mekanik dengan tekanan jalan nafas positif kontinu (CPAP) atau PEEP
• Inhalasi nebuliser
• Fisioterapi dada
• Pemantauan hemodinamik/jantung
• Pengobatan
Brokodilator
Steroid
• Dukungan nutrisi sesuai kebutuhan
emergency case
Rabu, 20 Februari 2013
Senin, 18 Februari 2013
DHF
Demam Berdarah
A. Demam Berdarah Dengue :
Adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh virus dengue melalui gigitan nyamuk Aedes Aigypti.
Diagnosa (Kriteria WHO) :
Klinis :
Laboratorium :
1. Terjadi hemokonsentrasi (PCV meningkat > 20 %)
2. Thrombocytopenia (Thrombocyte <100.000/cmm)
Pada penderita DSS (DBD Grade III dan IV) anak-anak
1. Cairan Cairan yang diberikan bisa berupa :
• Ringer Laktat
• 5 % Dextrose di dalam larutan Ringer Laktat
• 5 % Dextrose di dalam larutan Ringer asetat
• 5 % Dextrose di dalam larutan setengah normal garam faali, dan
• 5 % Dextrose di dalam larutan normal garam faali.
• Plasma.
2. Tranfusi darah
Diberikan pada :
Pemberian darah dapat diulang sesuai dengan jumlah yang dikeluarkan.
Jika jumlah thrombocyte menunjukkan kecenderungan menurun <>
4. Oksigen
5. Koreksi asidosis Nabic dapat diberikan 1 – 2 mEq/kgBB, diberikan dengan kecepatan 1 mEq/menit, atau jumlah Nabic dapat dihitung dengan rumus : Kebutuhan Nabic : 0,5 x BB x Defisit HCO3- atau 0,3 x BB x Base defisit
6. Koreksi kelainan-kelainan yang terjadi
7. Kortikosteroid Penggunaannya masih controversial pada pengobatan DSS Bisa diberikan dengan dosis :
A. Demam Berdarah Dengue :
Adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh virus dengue melalui gigitan nyamuk Aedes Aigypti.
Diagnosa (Kriteria WHO) :
Klinis :
- Panas 2 – 7 hari
- Tanda-tanda perdarahan, paling tidak tes RL yang positif.
- Adanya pembesaran hepar
- Gangguan sirkulasi yang ditandai dengan penurunan tekanan darah, nadi meningkat dan lemah serta akral dingin.
Laboratorium :
1. Terjadi hemokonsentrasi (PCV meningkat > 20 %)
2. Thrombocytopenia (Thrombocyte <100.000/cmm)
B. DHF Shock (DSS) : Adalah demam berdarah dengue yang disertai dengan gangguan sirkulasi, terdiri dari :
DHF grade III :
1. Tekanan darah sistolik < 80 mmHg
2. Tekanan nadi < 20 mmHg
3. Nadi cepat dan lemah
4. Akral dingin.
DHF grade IV :
1.Shock berat,
2.Tekanan darah tidak terukur, nadi tidak teraba.
PROSEDUR
Pada penderita dewasa :
1. Cairan :
- Infus NaCl 0,9 % / Dextrose 5 % atau Ringer Laktat
- Plasma expander, apabila shock sulit diatasi.
- Pemberian cairan ini dipertahankan minimal 12 – 24 jam maksimal 48 jam setelah shock teratasi.
- Perlu observasi ketat akan kemungkinan oedema paru dan gagal jantung, serta terjadinya shock ulang.
2. Tranfusi darah segar pada penderita dengan perdarahan masif. 3. Obat :
- Antibiotika : diberikan pada penderita shock membangkang dan/ atau dengan gejala sepsis
- Kortikosteroid : pemberiannya controversial Hati-hati pada penderita dengan gastritis.
- Heparin : diberikan pada penderita dengan DIC Dosis 100 mg/kg BB setiap 6 jam i.v.
Pada penderita DSS (DBD Grade III dan IV) anak-anak
1. Cairan Cairan yang diberikan bisa berupa :
- Kristaloid :
• Ringer Laktat
• 5 % Dextrose di dalam larutan Ringer Laktat
• 5 % Dextrose di dalam larutan Ringer asetat
• 5 % Dextrose di dalam larutan setengah normal garam faali, dan
• 5 % Dextrose di dalam larutan normal garam faali.
- Koloidal :
• Plasma.
- RL / D 5 % dalam RL / D 5 % dalam Ringer Asetat / larutan normal garam faali ----> diberikan 10 –20 ml/kg BB/ 1 jam.
- Pada kasus yang berat (grade IV) dapat diberikan bolus 10 ml/kg BB (1 x atau 2 x).
- Jika renjatan berlangsung terus (HCT tinggi) diberikan larutan koloidal (Dextran atau Plasma) sejumlah 10 – 20 ml/kg BB/ 1 jam.
2. Tranfusi darah
Diberikan pada :
- Kasus dengan renjatan yang sangat berat atau renjatan yang berkelanjutan.
- Gejala perdarahan yang nyata, misal : hematemesis dan melena.
Pemberian darah dapat diulang sesuai dengan jumlah yang dikeluarkan.
Jika jumlah thrombocyte menunjukkan kecenderungan menurun <>
- Antipiretika : yang diberikan sebaiknya Parasetamol (mencegah timbulnya Efek samping pedarahan dan asidosis)
- Obat penenang : diberikan pada kasus yang sangat gelisah. Dapat diberikan Valium 0,3 – 0,5 mg/kgBB/kali (bila tidak terjadi gangguan system pernapasan) atau Largactil 1 mg/kgBB/kali. Bila penderita kejang dapat diberikan kombinasi Valium (0,3 mg/kgBB) i.v. dan diikuti Dilantin (2 mg/kgBB/jam 3 kali sehari).
4. Oksigen
5. Koreksi asidosis Nabic dapat diberikan 1 – 2 mEq/kgBB, diberikan dengan kecepatan 1 mEq/menit, atau jumlah Nabic dapat dihitung dengan rumus : Kebutuhan Nabic : 0,5 x BB x Defisit HCO3- atau 0,3 x BB x Base defisit
6. Koreksi kelainan-kelainan yang terjadi
7. Kortikosteroid Penggunaannya masih controversial pada pengobatan DSS Bisa diberikan dengan dosis :
- Hidrokortison 6 – 8 mg/kgBB/ 6 – 8 jam i.v.
- Methyl prednisolon 30 mg/kgBB/hari i.v.
- Dexamethazon 1 – 2 mg/kgBB sebagai dosis awal, kemudian 1 mg/kgBB/hari i.v.
Minggu, 17 Februari 2013
Segmen ST pada penyakit jantung
Segmen
ST adalah garis lurus yang menghubungkan ujung akhir kompleks WRS
dengan bagian awal gelombang T. segmen ini mengukur waktu antara akhir
depolarisasi ventrikel sampai pada mulainya repolarisasi ventrikel
Infark Miokard
Pada infark miokard, elevasi segmen ST merupakan perubahan kedia yang terjadi secara akut pada evolusi infark. Elevasi segmen ST menandakan jejas miokardium. Jejas mungkin menggambarkan derajat cedera sel yang bukan disebabkan oleh iskemia saja tetapi jejas ini juga berkemungkinan reversible dan pada beberapa kasus segmen ST dapat dengan cepat kembali ke normal. Namun pada banyak keadaan, elevasi segmen ST merupakan tanda yang dpat dipercaya bahwa benar-benar telah terjadi infark dan gambaran EKG infark yang komplit akan terjadi kemudian.
Sekalipun pada keadaan infark sejati, segmen ST biasanya kembali ke gari isoelektrik dalam beberapa jam. Elevasi segmen ST yang menetap sering menunjukkan pembentukan aneurisma ventrikel, perlemahan dan penggembungan dinding ventrikel Seperti inverse gelombang T, elevasi segmen ST dapat dilihat pada sejumlah keadaan lain disamping jejas miokardim. Bahkan ada satu tipe elevasi segmen ST yang ditemukan pada jantung normal. Fenomena ini disebut sebagai repolarisasi awal atau elevasi titik J. titik J atau titik sambungan, merupakan tempat mulainya segmen ST dari kompleks QRS.
Elevasi titik J amat lazim pada individu muda yang sehat. Segmen ST biasanya kembali ke garis isoelektris pada latihan fisik. Elevasi titik J tidak mempunyai arti patologis apapun. Cara membedakan elevasi segmen ST dengan titik J, yaitu elevasi segmen ST pada penyakit miokardium mempunyai konfigurasi tersendiri. Segmen ST ini melengkung ke atas dan cenderung bergabung dengan gelombang T. pada elevasi titik J, gelombang T mempertahankan bentuk gelombangnya secara bebas.
Infark dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok anatomia umum. Kelompok ini adalah infark inferior, infark dinding lateral, infark anterior dam infark posterior. Perubahan EKG khas pada infark hanya terjadi pada sadapan-sadapan yang memonitor atau dekat tempat infark.
ANTERO SEPTAL MIOCARDIAC INFARCTIONInfark Miokard
Pada infark miokard, elevasi segmen ST merupakan perubahan kedia yang terjadi secara akut pada evolusi infark. Elevasi segmen ST menandakan jejas miokardium. Jejas mungkin menggambarkan derajat cedera sel yang bukan disebabkan oleh iskemia saja tetapi jejas ini juga berkemungkinan reversible dan pada beberapa kasus segmen ST dapat dengan cepat kembali ke normal. Namun pada banyak keadaan, elevasi segmen ST merupakan tanda yang dpat dipercaya bahwa benar-benar telah terjadi infark dan gambaran EKG infark yang komplit akan terjadi kemudian.
Sekalipun pada keadaan infark sejati, segmen ST biasanya kembali ke gari isoelektrik dalam beberapa jam. Elevasi segmen ST yang menetap sering menunjukkan pembentukan aneurisma ventrikel, perlemahan dan penggembungan dinding ventrikel Seperti inverse gelombang T, elevasi segmen ST dapat dilihat pada sejumlah keadaan lain disamping jejas miokardim. Bahkan ada satu tipe elevasi segmen ST yang ditemukan pada jantung normal. Fenomena ini disebut sebagai repolarisasi awal atau elevasi titik J. titik J atau titik sambungan, merupakan tempat mulainya segmen ST dari kompleks QRS.
Elevasi titik J amat lazim pada individu muda yang sehat. Segmen ST biasanya kembali ke garis isoelektris pada latihan fisik. Elevasi titik J tidak mempunyai arti patologis apapun. Cara membedakan elevasi segmen ST dengan titik J, yaitu elevasi segmen ST pada penyakit miokardium mempunyai konfigurasi tersendiri. Segmen ST ini melengkung ke atas dan cenderung bergabung dengan gelombang T. pada elevasi titik J, gelombang T mempertahankan bentuk gelombangnya secara bebas.
Infark dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok anatomia umum. Kelompok ini adalah infark inferior, infark dinding lateral, infark anterior dam infark posterior. Perubahan EKG khas pada infark hanya terjadi pada sadapan-sadapan yang memonitor atau dekat tempat infark.
ACUT ANTERIOR ATAU ANTEROLATERAL MIOCARDIAC INFARCTION
ACUT INFFERO POSTERIOR MIOCARDIAC INFARTION
- Infark inferior, mengenai diagfragma jantung. Infark ini sering disebabkan oleh oklusi arteri koronaria kanan atau cabang desendensnya. Perubahan-perubahan EKG yang khas infark dapat ditemukan pada sadapan II, III dan aVF inferior.
- Pada infark dinding lateral, elevasi ST dapat terlihat pada sadapan I, AVL, V5, dan V6. Perhatikan gelombang Q pada sadapan II, III dan aVF, yang menandakan infark inferior sebelumnya.
- Pada infark anterior, mengenai permukaan anterior ventricular kiri dan biasanya disebabkan penyumbatan arteri desendens anterior kiri. Salah satu sadapan prekordial V1 – V6) dapat menunjukkan perubahan
- Pada infark posterior mengenai permukaan posterior jantung dan biasanya disebabkan oleh penyumbatan arteri koronaria kanan. Tidak ada sadapan yang memonitor dinding posterior. Oleh karena itu, diagnosis darus dibuat dengan mencari perbuahan-perubahan resiprokal pada sadapan-sadapan anterior, terutama V1. Karena kita tidak dapat mencari elevasi segmen ST dan gelombang Q pada sadapan posterior yang tidak dipasang, kita harus mencari depresi segmen ST dan gelombang R tinggi pada sadapan anterior, terutama sadapan V1. infark posterior merupakan cerminan dari infark anterior pada EKG.
Infark miokard tanpa gelombang Q
Satu-satuya perubahan EKG yang tampak pada infark tanpa gelombang Q adalah inverse gelombang T dan depresi segmen ST. inverse gelombang T dapat dilihat pada sadapan V2 sampai dengan V6 . depresi segmen ST paling nyata pada sadapan V2 dan V3
Perikarditis
Pada penyakit perikarditis akut dapat menyebabkan elevasi segmen ST dan gelombang T merata atau inversi. Perubahan ini mudah dirancukan dengan infark yang sedang berkembang. Tanda-tanda EKG tertentu dapat membantu membedakan perikarditis dari infark, seperti:
Perubahan segmen ST dan gelombang T pada perikarditis cenderung difus, melibatkan jauh lebih banyaj sadapan daripada pengaruh infark yang bersifat local
Pada perikarditis, inverse gelombang T biasanya baru terjadi sesudah segmen ST kembali ke garis isoelektrik. Pada infark, inverse gelombang T biasanya mendahului normalisasti segmen ST. Pada perikarditis, tidak terjadi pembentukan gelombang Q
Angina
Angina merupakan nyeri dada yang khas yang menyertai penyakit arteri koronaria. Pasien angina pada akhirnya dapat mengalami infark atau dapat tetap stabil selama beberapa tahun. Gambaran EKG yang diambil selama serangan angina akan menunjukaan depresi segmen ST ayai inverse gelombang T
Ada 2 cara untuk membedakan depresi segmen ST pada angina dengan segmen ST pada infark tanpa gelombang Q, yakni dengan gambaran klinis dan perjalanan waktunya. Pada angina, Segmen ST biasanya kembali ke garis isoelektris segera sesudah serangan hilang. Pada infark tanpa gelombang Q, segmen ST tetap depresi sekurang-kurangnya selama 48 jam.
Angina Prinzmetal
Ada satu tipe yang disertai dengan elevasi segmen ST. sementara angina yang tipikal biasanya disebabkan oleh pengerahan tenaga dan merupakan akibat dari penyakit kardiovaskular aterosklerotik yang progresif, pada angina prinzmetal dapat terjadi setiap waktu dan pada beberapa pasien disebabkan oleh spasme arteri koronaria. Sepertinya, elevasi segmen ST menggambarkan jejas mempunyai gambaran kengkung berkubah yang ditemukan pada infark sejati dan segmen STnya akan cepat kembali pada garis isoelektris bila pasien diberi obat antiangina.
Jantung Atlet
Pelari marathon dan atlet lain yang sedang mengikuti latihan ketahanan yang membutuhkan kapasitas anaero maksimaldapat menimbulkan perubahan pada EKGnya. Perubahan ini dapat membuat anda ngeri jika anda tidak terbiasa dengan keadaan ini. Perubahannya salah satunya dapat berupa: perubahan ST dan gelombang T yang non spesifik. Gambarannya yang khas dari perubahan ini yaitu elevasi segmen ST pada sadapan prekordial dengan gelombang T yang rata atau inverse.
Tidak satupun dari perubahan EKG ini yang perlu dikhawatirkan dan tidak memerlukan pengobatan. Lebih dari satu atlet ketahanan yang menjalani pemeriksaan EKG rutin, dimasukkan ke CCU karena dokternya tidak paham tentang perubahan-perubahannya.
Pada blockade cabang berkas dan repolarisasi
Pada blockade cabang berkas kanan maupun kiri, rangkaian repolarisasi juga terkena. Pada blockade cabang berkas kanan, sadapan prekordial kanan akan menunjukkan depresi segmen ST dan inverse gelombang T, tepat seperti gambaran strain yang terjadi pada hipertrofi ventrikel. Serupa halnya pada blockade cabang berkas kiri, depresi segmen ST dan inverse gelombang T dapat ditemukan pada sadapan-sadapan lateral kiri.
Pengaruh obat-obatan
Digitalis, ada dua kelompok perubahan EKg yang disebabkan oleh digitalis; kelompok yang terjadi pada kadar obat terapeutik dalam darah dan kelompok yang terjadi pada kadar darah toksik. Pada perubahan EKG yang berkaitan dengan kadar terapeutik darah. Kadar terapeutik digitalis menghasilkan perubahan segmen ST dan gelombang T pada kebanyakan orang yang minum obat tersebut. Perubahan ini dikenal dengan efek digitalis dan berupa depresi segmen ST dengan gelombang T rata atau inverse.
Depresi segmen ST mempunyai lereng turun yang sangat landai yang hamper tidak dapat dikenali muncul dari gelombang R didepannya.gambaran yang khas ini memungkinkan untuk membedakan pengaruh digitalis dari depresi segmen ST yang lebih simetris akibat iskemia. Efek digitalis biasanya paling menonjol pada sadapan yang mempunyai gelombang R tinggi. Ingat: efek digitalis adalah normal juga dapat diramalkan dan obat tidak perlu dihentikan.
Hipokalemia
Pada hipokalemia, kembali EKG dapat menjadi alat ukur yang lebih baik untuk toksisitas serius dibandingkan dengan kalium serum. Dapat ditemukan 3 perubahan, yang terjadi tanpa urutan tertentu, yaitu: Depresi segmen ST, gelombang T merata dan munculnya gelombang U.
Istilah Gelombang U diberikan pada gelombang yang muncul setelah gelombang T pada siklus jantung. Arti fisiologis tepatnya belum dipahami. Walaupun gelombang U merupakan tanda hipokalemi yang sangat khas, gelombang u ini sendiri seja tidak bersifat diagnostic. Keadaan-keadaan lain dapat menghasilkan gelombang U yang menonjol dan gelombang U kadang-kadang dapat ditemukan pada pasien dengan jantung normal dan kadar kalium serum yang normal.
Hipotermia
Ketika suhu tubuh turun di bawah 30℃, salah satu perubahan yang terjadi pada EKG berupa elevasi segmen ST yang membedakan dan betul-betul diagnostic mingkin muncul. Elevasi ini berupa kenaikan tegak lurus mendadak pada titik J dan kemudian menurun kembali sama mendadaknya ke garis isoelektrik. Hasil konfigurasinya disebut gelombang j atau gelombang Osborn.
Senin, 14 Januari 2013
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FKUP/RS HASAN SADIKIN
BANDUNG
Sari
Kepustakaan : /Mei 2010
Subdivisi : Perinatologi
Oleh : Dinna
Meinardaniawati
Pembimbing : Prof. Dr. H. Abdurachman S,
dr., SpA(K)
Prof. Dr. H. Sjarif Hidajat Effendi, dr., SpA(K)
dr. Aris
Primadi, SpA(K)
dr. Tetty
Yuniati, SpA(K), M.Kes
dr. Fiva Aprilia
Kadi, SpA, M.Kes
Hari/Tanggal : Senin, 7 Juni 2010
SYOK SEPTIK PADA
NEONATUS
1.
PENDAHULUAN
Syok Sepsis merupakan masalah kesehatan utama yang
melibatkan jutaan manusia di seluruh dunia. Penyakit ini masih menjadi penyebab
utama morbiditas dan mortalitas pada neonatus, bersama dengan timbulnya
disfungsi organ multipel yang terjadi pada pasien sepsis.1,2,3,4 Syok
septik menjadi suatu permasalahan klinis yang sangat kompleks, terjadi akibat
keadaan sepsis yang memburuk.4 Faktor-faktor risiko yang
meningkatkan kejadian sepsis selama periode neonatal, yaitu prematuritas, berat
badan lahir rendah, pembedahan, pasien dengan ventilasi mekanik, pemberian
nutrisi parenteral, dan adanya flora abnormal gastrointestinal. Mortalitas
sepsis neonatorum berhubungan dengan disfungsi organ multipel, sebagaimana
terjadi pada pasien dewasa. Penanganan yang tepat diperlukan untuk mencegah
terjadinya syok septik dan disfungsi organ multipel tersebut.1,4
Hasil akhir
syok septik dan sepsis berat pada neonatus
dan anak telah mengalami perbaikan sebelum tahun 2002 dengan adanya penanganan the advent of neonatal and pediatric
intensive care.5,6,7 Insidens dari sepsis itu sendiri diketahui meningkat menurut kelompok umur
pada dua dekade terakhir.6 Di Amerika
Serikat sepsis diperkirakan terjadi sekitar 750.000 kasus setiap tahunnya pada
populasi menurut umur dengan jumlah yang terus meningkat, yaitu pada pasien dengan organisme yang resisten
terhadap pengobatan atau compromised
immune system.3,8,9
Pada neonatus, sepsis mempunyai insidens 1-10 dari 1000
kelahiran hidup, dengan angka mortalitas 15-50%, atau sekitar 26%
diseluruh dunia.10,11 Referensi lain menyebutkan angka mortalitas akibat syok septik adalah sebesar 40-70%, sedangkan yang
disebabkan oleh sepsis berat adalah 25-30%.3 Angka kematian akibat
syok septik tergantung pada tempat awal timbulnya infeksi, bakteri patogen, adanya Multiorgan Dysfunction Syndrome (MODS), dan respon imun pejamu.4 Sepsis
bakterialis yang menyebabkan syok septik menjadi penyebab utama tingginya angka
morbiditas dan mortalitas, terutama pada bayi dengan berat badan lahir rendah.4,12
Pada tahun 2002, The
American College of Critical Care Medicine (ACCM) membuat pedoman Clinical Practice Parameters for
Hemodynamic Support of Pediatric and Neonatal Shock yang merupakan pedoman
penanganan syok septik pada neonatus dan anak yang dimodifikasi pada tahun 2007.5
Banyak penelitian yang telah dilakukan berdasarkan pada pedoman dan rekomendasi
ACCM untuk penanganan syok septik berhasil membuktikan manfaat dan
efektivitasnya dalam menurunkan angka kematian akibat syok septik.5 Penelitian
uji klinis dan eksperimental mengenai syok septik telah membuktikan bahwa waktu
sangat memegang peranan penting. Penanganan syok septik secara dini dan agresif
dalam pemberian cairan resusitasi (early,
aggeressive fluid resuscitation) memberikan hasil keluaran yang lebih baik.13
Keterlambatan diagnosis dan penanganan syok septik yang
kurang tepat menyebabkan angka kematian masih tinggi dengan insidens yang
cenderung terus meningkat setiap tahunnya.9 Hal ini mengharuskan
para klinisi memiliki pemahaman tentang etiologi, patofisiologi, dan penatalaksanaan syok
septik. Dalam referat ini akan dibahas
mengenai penegakan diagnosis syok septik pada neonatus dan penatalaksanaannya.
2. DEFINISI
Syok septik merupakan keadaan sepsis yang memburuk,
awalnya didahului oleh suatu infeksi. Definisi systemic inflammatory response syndrome (SIRS) adalah suatu respon
peradangan terhadap adanya infeksi bakteri, fungi, ricketsia, virus, dan
protozoa. Respon peradangan ini timbul ketika sistem pertahanan tubuh tidak
cukup mengenali atau menghilangkan infeksi tersebut.4 Sepsis adalah SIRS yang disertai adanya bukti infeksi.3,4,9 Sepsis berat adalah sepsis yang disertai dengan salah satu disfungsi organ
kardiovaskular atau acute respiratory
distress syndrome, atau ≥2 disfungsi organ lain (hematologi, renal,
hepatik).3,4,9,14 Syok septik adalah sepsis berat yang disertai
adanya hipotensi atau hipoperfusi yang menetap selama 1 jam, walaupun telah
diberikan resusitasi cairan yang adekuat.3,4,9 Literatur lain menyebutkan syok septik adalah sepsis
yang disertai disfungsi organ kardiovaskular, yang masih berlangsung setelah
diberikan cairan isotonik bolus intravena
> 40 ml/kgbb selama 1 jam.14
2.1 Kriteria Disfungsi
Organ, antara lain sebagai berikut:14
2.1.1. Disfungsi
kardiovaskular
Tekanan darah yang menurun (hipotensi) < persentil
ke-5 menurut kelompok umur atau tekanan darah sistolik > 2 SD dibawah normal
menurut kelompok umur,14 atau
Kebutuhan akan obat-obatan vasoaktif untuk menstabilkan
tekanan darah (dopamin > 5 mikrogram/kgbb/menit, dobutamin, epinefrin, atau
norepinefrin), atau
Dua dari gejala sebagai berikut: oliguria
(output urin < 0,5 ml/kgbb/jam), cappilary
refill time memanjang > 3 detik,
perbedaan suhu tubuh perifer dan inti > 30C.
2.1.2 Disfungsi
respiratori
PaCO2 > 20 mmHg di atas batas normal.
Memerlukan FiO2 > 50% untuk memperoleh saturasi >
92%.
Kebutuhan akan ventilasi mekanik invasif atau
non-invasif.
2.1.3 Disfungsi
neurologis
Glasgow come
scale < 11, atau
Perubahan status
mental akut disertai penurunan GCS > 3 dari batas normal.
2.1.4 Disfungsi
Hematologi
Jumlah Trombosit < 80.000/mm3,
atau menurun > 50% dari jumlah trombosit tertinggi yang tercatat selama 3
hari terakhir.
2.1.5 Disfungsi
Renal
Kadar kreatinin serum > 2 kali di atas nilai normal
menurut umur.14 Kriteria acute
renal failure pada neonatus yaitu jika kadar ureum darah mencapai > 20
mg/dl.15
2.1.6 Disfungsi
Hepar
Kadar alanin transaminase > 2 kali di atas nilai
normal menurut umur.14
Tabel 1. Definisi Syok menurut American College of Critical Care Medicine Hemodynamic
Cold or Warm Shock Menurunnya perfusi yang
bermanifestasi sebagai perubahan status mental,
capillary
refill > 2 detik (cold shock)
atau pengisian kembali kapiler cepat (warm
shock), tekanan nadi perifer menyempit (cold shock) atau bounding (warm shock),
ekstremitas dingin
dan mottling (cold shock), atau output
urin yang menurun < 1
ml/kgbb/jam.
Syok
refrakter cairan Syok yang menetap walaupun telah diberikan
cairan resusitasi ≥ 60 ml/kgbb
atau
resisten dan infus
Dopamin sampai 10 mikrogram/kgbb/menit.
dopamin
Syok
resisten Syok yang
menetap walaupun telah diberikan direct acting catecholamines;
katekolamin
epinefrin atau
norepinefrin.
Syok
refrakter Syok yang
menetap walaupun telah dilakukan goal directed therapy menggunakan
Obat
inotropik, vasopressor, vasodilator, dan pemeliharaan metabolik rumatan
serta
homeostasis hormonal.
|
Sumber: Brierley, Carcillo, Choong, Cornell, 2007.5
3. ETIOLOGI
Infeksi yang terjadi pada pejamu berasal dari adanya
kontak dengan organisme patogen potensial. Organisme patogen tersebut
berproliferasi dan mempengaruhi pertahanan tubuh pejamu. Sumber infeksi pada
neonatus dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu: infeksi intrauterin
(transplasental), perinatal selama proses persalinan (intrapartum), dan infeksi
yang didapat dari rumah sakit selama periode neonatal (postnatal) dapat berasal
dari ibu atau lingkungan rumah sakit.16
Pada sebagian besar kasus syok
septik disebabkan oleh kuman gram negatif, baik karena bakteriemia atau endotoksemia, namun kuman gram positif juga diketahui dapat menyebabkan syok.
Jenis kuman gram negatif yang sering menyebabkan syok septik adalah Escherichia coli dan grup Klebsiella-Aerobacter.17 Eschericia
coli adalah salah satu organisme enterik maternal yang
berkolonisasi di dalam saluran gastrointestinal neonatus, yang dapat masuk ke
dalam pembuluh darah.18,19 Diplococcus pneumonia, Staphylococcus aureus,
dan Streptococcus β hemolyticus
merupakan kuman gram positif yang sering menjadi penyebab pada syok septik.17 Staphylococcus Aureus dan bakteri gram negatif lebih sering ditemukan di negara berkembang.20
Organisme penyebab paling banyak sepsis neonatorum telah mengalami perubahan
pada beberapa dekade terakhir, dan bervariasi secara geografis.18,20 Saat
ini, Streptococcus grup B merupakan
bakteri penyebab paling banyak.18,19,20,21 Streptococcus grup B didapat baik intrapartum maupun postpartum.18,19,20
Selama beberapa tahun di Amerika Serikat, organisme penyebab sepsis yang paling
sering ditemukan adalah golongan bakteri gram negatif. Namun, pada tahun 2000
bakteri gram positif ditemukan sebesar 52,1% dari keseluruhan kasus sepsis yang
lebih tinggi dibandingkan dengan bakteri gram negatif sebesar 37,6%. Sebagian
kasus tertentu, ditemukan organisme multipel sebagai penyebabnya, yaitu sekitar
(4,7%), jamur (4,6%), dan bakteri
anaerob (1,0%). Selama periode kurang lebih 20 tahun sejak tahun 1979 sampai
2000 infeksi bakteri gram positif meningkat dengan rata-rata 26,3% pertahun dan
infeksi jamur meningkat sebesar 9% selama periode tersebut.6
Penyebab
sepsis bakterialis juga bervariasi berdasarkan usia postnatal. Pada tahun
1991-1993, dilakukan penelitian kohort di Amerika Serikat dengan data yang diambil
dari 12 pusat kesehatan sebanyak 7.861 bayi dengan berat badan lahir rendah.20
Hasil penelitian menyatakan insidens sepsis awitan dini yang terjadi dalam 72
jam pertama kehidupan sekitar 1,9% dan sepsis awitan lanjut sebanyak 25%.20
Sepsis awitan dini merupakan penyebab kematian terutama pada bayi dengan berat
badan lahir rendah (<1500 gram).22
4. KLASIFIKASI
Vasokonstriksi adalah suatu respon normal terhadap
keadaan tekanan arteri sangat rendah untuk memenuhi perfusi jaringan, seperti
pada syok hemoragik akut atau syok kardiogenik. Pada syok septik, seringkali
hipotensi yang timbul adalah akibat kegagalan dari otot-otot halus pembuluh
darah berkonstriksi.23
Syok septik merupakan kombinasi dari tiga tipe klasik
syok yaitu: hipovolemik, kardiogenik, dan distributif.4 Syok hipovolemik
terjadi akibat kehilangan cairan intravaskular melalui kebocoran kapiler, syok
kardiogenik terjadi karena efek depresan miokardium akibat sepsis, dan syok
distributif diakibatkan oleh menurunnya
tahanan vaskular sistemik.4 Syok septik adalah bentuk dari syok
distributif yang ditandai oleh vasodilatasi dari pembuluh darah arteri dan
vena.24 Syok septik dibedakan ke dalam 2 jenis, yaitu warm Shock dan cold shock. Warm shock
ditandai dengan curah jantung yang meningkat, kulit yang hangat dan kering,
serta bounding pulse dan cold shock ditandai oleh curah jantung
yang menurun, kulit lembab dan dingin, serta nadi yang lemah.22
5. PATOFISIOLOGI
Syok terjadi karena adanya kegagalan sirkulasi dalam
upaya memenuhi kebutuhan tubuh.4 Hal ini disebabkan oleh menurunnya cardiac output atau kegagalan distribusi
aliran darah dan kebutuhan metabolik yang meningkat disertai dengan atau tanpa
kekurangan penggunaan oksigen pada tingkat seluler.4 Tubuh mempunyai
kemampuan kompensasi untuk menjaga tekanan darah melalui peningkatan denyut
jantung dan vasokonstriksi perifer.4,23 Hipotensi dikenali sebagai
tanda yang timbul lambat terutama pada neonatus karena mekanisme kompensasi tubuh mengalami
kegagalan sehingga terjadi ancaman kardiovaskuler.4
Respon imun pejamu,
melalui sistem imun seluler dan humoral serta reticular endothelium system (RES), dapat
mencegah terjadinya sepsis. Respon imun ini menghasilkan kaskade inflamasi dengan
mediator – mediator yang sangat toksik
termasuk hormon, sitokin, dan
enzim. Jika proses kaskade inflamasi ini tidak terkontrol, maka SIRS terjadi
dan dapat berlanjut dengan disfungsi sel,
organ, dan gangguan sistem
mikrosirkulasi.4
Kaskade inflamasi dimulai dengan toksin
atau superantigen. Endotoksin (suatu lipopolisakarida), mannosa, dan glikoprotein, komponen dinding sel bakteri gram negatif, berikatan
dengan makrofag meyebabkan aktivasi dan ekspresi gen inflamasi. Superantigen
atau toksin yang berhubungan dengan bakteri gram positif, mycobacteria, dan virus akan mengaktivasi limfosit dan menginisiasi
kaskade mediator inflamasi.4
Gangguan mikrosirkulasi dalam bentuk jejas endotel, akan
melepaskan substansi vasoaktif, perubahan tonus kardiovaskuler,
obstruksi mekanis kapiler karena adanya aggregasi elemen seluler, dan aktivasi sistem
komplemen.4 Pada tingkat seluler terdapat penurunan fosforilasi oksidatif sekunder karena
penurunan penghantaran oksigen, metabolisme anaerob karena penurunan adenosine
triphosphate (ATP), penurunan glikogen, produksi laktat, peningkatan kalsium sitosol, aktivasi
membran fosfolipase, dan pelepasan asam lemak dengan pembentukan prostaglandin.4
Respon biokimia termasuk produksi
metabolit asam arakhidonat, melepaskan faktor depresan
jantung, endogen opiat, aktivasi komplemen, dan produksi mediator lainnya.
Metabolit asam arakhidonat seperti (1)thromboxane
A2 menyebabkan vasokontriksi dan agregasi trombosit, (2)prostaglandin, seperti
PGF2 yang menyebabkan vasokontriksi, dan PGI2 menyebabkan vasodilatasi, serta (3)leukotrien yang menyebabkan vasokontriksi, bronkokontriksi, dan
peningkatan permeabilitas kapiler. Faktor depresan jantung, tumor
necrosis factor-α (TNF-α), dan beberapa interleukin menyebabkan depresi miokardium melalui peningkatan
perangsangan nitrit oksida sintase. Opiat endogen, termasuk didalamnya
β-endorfin, menurunkan aktivasi simpatis, menurunkan kontraksi
miokardium, dan menyebabkan vasodilatasi. Aktivasi sistem
komplemen merangsang lepasnya mediator vasokontriksi yang akan
menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler, vasodilatasi dan
aktivasi dan agregasi trombosit dan granulosit..4
6. DIAGNOSIS
Pengenalan dini syok septik sangat esensial untuk memperoleh outcome yang baik. Syok septik
merupakan suatu diagnosis klinis, yang ditandai oleh adanya perfusi yang
menurun.6 Stadium awal syok
septik dapat dikenali dengan ditemukan takikardi, bounding pulse, serta perubahan kesadaran. Stadium lebih lanjut
dapat ditemukan waktu pemanjangan pengisian kapiler, dan akhirnya tanda lambat
yang timbul adalah hipotensi.5 Syok
septik harus didiagnosis secara klinis sebelum timbulnya hipotensi, yaitu
hipotermi, atau hipertermi, perubahan status mental, vasodilatasi perifer (warm shock) atau vasokontriksi dengan capillary refill > 3 detik (cold
shock). Ambang batas denyut jantung yang berhubungan dengan meningkatnya
mortalitas pada bayi dengan keadaan critically ill adalah HR < 90 x/menit
atau > 160x/menit.5
Syok septik harus dicurigai pada bayi baru
lahir yang mengalami takikardi, respiratory distress, malas menetek, tonus buruk, sianosis, takipnea, diare,
atau penurunan perfusi, khususnya dengan adanya riwayat ibu dengan korioamnionitis
atau ketuban
pecah lama.21 Pemeriksaan laboratorium lengkap harus dilakukan pada pasien syok septik, meliputi
pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, dan elektrolit, serta mencari sumber
infeksi dengan pemeriksaan rontgen toraks.17 Pemeriksaan kultur dari darah dan urin juga dilakukan, pungsi lumbal untuk kultur cairan serebrospinal (CSF), dan kultur yang secara klinis
diperlukan atau sesuai indikasi dapat
membantu menegakan diagnosis.17,21 Petanda biologis sebagai suatu respon terhadap infeksi yang meningkat salah
satunya adalah C-reactive protein
(CRP) yang membutuhkan waktu 12-24 jam untuk mencapai kadar dalam darah yang
dapat di ukur.17
7. PENATALAKSANAAN
Tujuan penanganan syok adalah untuk menjaga tekanan
perfusi.5 Berdasarkan suatu penelitian menyatakan bahwa penanganan
syok early goal-directed resuscitation
dapat meningkatkan angka harapan hidup penderita syok septik.9 Penggunaan
ekspansi volume dan agen inotropik
diperlukan untuk mencapai perfusi renal dan jaringan yang adekuat. Pada tahap awal
digunakan penggunaan volume ekpansi cairan,
berikutnya digunakan agen inotropik.21 Dopamin dan dobutamin merupakan obat-obatan
inotropik yang digunakan untuk mengatasi syok pada neonatus.24 Penggunaan
kortikosteroid diberikan
jika ekspansi volume dan agen
inotropik tidak dapat mengatasi
syok. Terapi kortikosteroid intravena pada
sepsis masih kontroversial.25
Suatu penelitian menunjukkan
penggunaan dosis tunggal dapat dilakukan pada hipotensi refrakter tanpa
menyebabkan reaksi simpang
pada neonatus, tetapi berdasarkan tinjauan penelitian lain menyebutkan
tidak terdapat cukup bukti untuk mendukung pemberian
rutin steroid pada hipotensi neonatus.21
Terapi antibiotik
empiris diberikan setelah pengambilan
spesimen untuk kultur, yang dianjurkan
adalah antibiotik broad spectrum,
seperti ampisilin intravena dan gentamisin.
Vankomisin dapat diberikan
menggantikan ampisilin,
jika diduga
adanya infeksi stafilokokus (sering pada neonatus yang berusia lebih dari 3 hari dengan
monitoring invasif menggunakan
kateter atau chest tube). Beberapa
institusi menganjurkan penggunaan sefotaksim, terutama jika terdapat infeksi sistem saraf pusat, penggunaan
vankomisin menggantikan
gentamisin untuk mencegah nefrotoksisitas. Dipertimbangkan penggunaan ini terutama pada kuman gram negatif yang spesifik dan jika terdapat resistensi.21
Pemberian intravena imunoglobulin (IVIG), penggunaannya masih kontroversial.
Pada beberapa tinjauan terkini ditemukan bahwa penggunaannya dapat menurunkan
mortalitas sepsis sebesar 3%.21 IVIG diketahui dapat membatasi kerusakan
jaringan yang dicetuskan oleh aktivasi faktor komplemen dan merubah komplek
imun inflammatory potential soluble.26
Beberapa institusi memberikan dosis tunggal IVIG pada neonatus, seperti Veronate (antistafilokokus
IVIG spesifik), tetapi pemberiannya tidak
terbukti efektif sehingga hal ini memerlukan
evaluasi lebih lanjut.21 Penatalaksanaan syok septik pada neonatus diajukan dalam
bentuk algoritma berikut ini:
Unit Gawat Darurat
|
0 menit
|
|
||||
5 menit
|
|
|||||
15 menit
|
|
|||||
60 menit
|
|
|||||
Unit Perawatan Intensif
|
|
|
||||
|
|
Syok belum dapat ditangani?
|
ECMO
|
Gambar 1. Algoritma Penatalaksanaan Syok Septik Pada
Neonatus
Sumber: Brierley, 20095
7.1 Penanganan ABC: Satu Jam Pertama Resusitasi
7.1.1 Tujuan:
Menjaga jalan nafas, oksigenasi, dan ventilasi; mengembalikan dan menjaga sirkulasi, didefinisikan sebagai perfusi dan
tekanan darah normal, menjaga sirkulasi neonatus, dan menjaga denyut jantung dalam ambang batas normal.5
7.1.2 Jalan Nafas dan Pernafasan:
Kepatenan jalan nafas, oksigenasi dan ventilasi adekuat
harus secara ketat dimonitor dan dipertahankan. Keputusan untuk mengintubasi dan ventilasi berdasarkan diagnosis klinis
dapat
dilihat dengan meningkatnya
usaha napas (work of breathing), usaha napas yang tidak adekuat, hipoksemia
berat, atau
gabungan dari keadaan tersebut.5
7.1.3 Sirkulasi:
Akses vaskuler harus diperoleh dengan cepat menurut panduan program resusitasi neonatus, pemasangan kateter vena dan arteri umbilikal lebih banyak dilakukan.5
7.1.4 Resusitasi Cairan:
Diberikan bolus cairan 10 mL/kgbb, kemudian dilakukan observasi kemungkinan timbulnya hepatomegali dan meningkatnya
kerja napas. Cairan dapat diberikan sampai 60 mL/kgbb pada satu jam pertama.5
7.1.5 Dukungan Hemodinamik:
Pasien dengan syok berat memerlukan dukungan
kardiovaskular selama resusitasi cairan. Dopamin dapat digunakan sebagai
agen lini pertama. Pemberian awal yang disarankan kombinasi dopamin dosis rendah (<8μg/kgbb/menit)
dan dobutamin (hingga 10μg/kgbb/menit). Bila pasien tidak merespon dengan
adekuat pada intervensi ini, maka diberikan epinefrin (0,05-0,3μg/kgbb/menit) dapat diberikan untuk mengembalikan tekanan darah
dan perfusi normal.5
7.2 Stabilisasi: Setelah 1 Jam Pertama (Dukungan Hemodinamik Unit Perawatan
Intensif
Neonatus/NICU)
7.2.1 Tujuan:
Mengembalikan dan menjaga denyut jantung dalam ambang batas normal, menjaga perfusi dan tekanan darah
normal, menjaga sirkulasi neonatus, ScvO2 >70%, CI >3,3L/menit/m2, dan aliran SVC >40 mL/kgbb/menit.5
7.2.2 Resusitasi Cairan:
Kehilangan
cairan dan hipovolemia persisten karena kebocoran kapiler difus dapat
berlangsung berhari-hari. Kristaloid adalah cairan pilihan pada neonatus dengan
Hb > 12 g/dL. Dapat diberikan transfusi PRC bagi neonatus dengan kadar Hb < 12 g/dL. Continuous
renal replacement therapy (CRRT) atau diuretik dianjurkan untuk neonatus yang mengalami overload cairan 10% dan tidak dapat
mencapai keseimbangan cairan. Larutan infus isotonik mengandung D10% yang
diberikan dengan kecepatan pemberian
rumatan menyediakan penghantaran glukosa untuk mencegah hipoglikemi.5
7.2.3 Dukungan Hemodinamik:
Pentoxifylline IV 6 jam per hari selama 5 hari
dapat digunakan untuk mengatasi syok septik pada bayi dengan
berat badan lahir sangat rendah. Pada neonatus dengan
fungsi ventrikel kiri yang buruk dan tekanan darah normal, penambahan nitrovasodilator atau phosphodiesterase inhibitor terhadap
epinefrin (0,05–
0,3 mikrogram/kgbb/menit) cukup
efektif namun harus dimonitor untuk kemungkinan terjadinya toksisitas. Norepinefrin efektif untuk mengatasi hipotensi refrakter, namun ScvO2
harus dijaga > 70%.5
7.3 Terapi ECMO dan CRRT
untuk Syok Refrakter
Neonatus
dengan syok refrakter harus dicurigai mempunyai morbiditas yang tidak biasa atau memerlukan
penanganan spesifik, termasuk efusi perikardium (perikardiosentesis), pneumotoraks
(torakosentesis), kehilangan darah yang terus berlangsung (penggantian
darah/hemostasis), hipoadrenalisme (hidrokortison), hipotiroidisme
(triiodotironin), inborn errors of
metabolism (responsif kepada infus glukosa dan insulin), dan/atau penyakit
jantung sianosis atau obstruktif (responsif kepada prostaglandin E1),
atau PDA yang sangat besar (penutupan PDA).5 Apabila berbagai penyebab ini telah dapat
disingkirkan, maka extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) merupakan terapi yang penting untuk dipertimbangkan bagi neonatus cukup bulan.4,5
Tingkat survival
rate ECMO
saat ini untuk sepsis neonatorum adalah 80%. Pada beberapa
pusat kesehatan, syok refrakter dengan PaO2 < 40 mm Hg setelah
terapi maksimal dianggap sebagai indikasi yang cukup untuk mulai memberikan terapi ECMO. Selain daripada itu, keuntungan lain adalah berkurangnya
pemberian inotropik bila digunakan ECMO.
5
8. PROGNOSIS
Angka mortalitas syok septik sangat tergantung pada lokasi
pertama kali infeksi, patogenisitas organisme penyebab, timbulnya multiorgan disfunction syndrome (MODS), serta
respon imun dari pejamu. Pada neonatus, terutama dengan berat badan lahir
rendah, mempunyai risiko tinggi terhadap timbulnya sepsis berat yang dapat
memburuk menjadi syok septik.4
9. RANGKUMAN
Sampai saat ini syok
septik merupakan penyebab kematian paling sering pada pasien dengan sepsis, termasuk neonatus. Keberhasilan dalam penatalaksanaan
syok septik adalah dengan kecepatan dan ketepatan dalam menegakan diagnosis,
pemberian regimen terapi, serta pemanfaatan waktu yang efektif. Melalui
penanganan yang tepat terhadap syok septik, diharapkan dapat memperbaiki
prognosis dan menurunkan angka mortalitas.
REFERENSI
1.
Eaton S. Impaired
energy metabolism during neonatal sepsis: the effects of glutamine.
Procceedings of the nutrition society. 2003; 62:745-51.
2.
Palmer J. Sepsis
and septic shock. Neonatology. New Bolton Center:1-7.
3.
Russel JA.
Management of sepsis. New Engl J Med. 2006;355:1699-713.
4.
Enrionne MA, Powell
KR. Sepsis, Septic Shock, and Systemic Inflammatory Response Syndrome. Dalam:
Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE, Stanton BF, penyunting. Nelson Textbook of
Pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders Elsevier;2007.h.1094-99.
5.
Brierley J,
Carcillo JA, Choong K, Cornell T, DeCaen A, Deymann A, dkk. Clinical practice
parameters for hemodynamic support of pediatric and neonatal septic shock: 2007
update from the American College of Critical Care Medicine. Crit Care
Med.2009;37(2):666-88.
6.
Dowd MD. Management
of pediatric septic shock in the emergency department.
Pem-Database.Org.2003;1-12.
7.
Carcillo JA, Field
AI. Clinical practice parameters for hemodynamic support of pediatric and
neonatal patients in septic shock. Crit Care Med.2002;30(6): 1365-78
8.
Hotchkiss RS, Karl
IE. The pathophysiology and treatment of sepsis. New Engl J Med.
2003;348(2):138-50.
9.
Dellinger RP, Levy
MM, Carlet JM, Bion J, Parker MM, Jaeschke R, dkk. Surviving Sepsis Campaign:
International guidelines for management of sepsis berat and septic shock: 2008.
Intensive Care Med.2008;34;17-60.
10. Nupponen I, Andersson S, Jarvenpaa AL, Kautiainen H.
Neutrophil CD11b Expression and circulating interleukin-8 as diagnostic markers
for early-onset neonatal sepsis. Pediatrics. 2001;108:1-6.
11. Seale AC, Mwaniki M, Newton CR, Berkley JA. Maternal and
early onset neonatal bacterial sepsis: burden and strategies for prevention in
sub-Saharan Africa. Lancet Infect Dis. 2009;9:428-38.
12. Puopolo KM. Bacterial and Fungal Infections. Dalam:
Cloherty JP, Eichenwald EC, Starck AR, penyunting. Manual of Neonatal Care.
Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins;2004.h.275-93.
13. Han YY, Carcillo JA, Dragotta MA, Bills DM, Watson RS,
Westerman ME, dkk. Early reversal of pediatric neonatal septic shock by
community physicians is associated with improved outcome. Pediatrics.
2003;112:793-9.
14. Khilnani P. Management of Septic Shock. Pediatric oncall.
Di unduh tanggal 8 Mei 2010.Tersedia:http://www.pediatriconcall.com/fordoctor/diseasesandcondition/PEDIATRIC_EMERGENCIES/management_severe_sepsis_In_children.asp
15. Mathur NB. Agarwal HS, Maria A. Acute renal failure in
neonatal sepsis. Indian Journal of Pediatrics. 2006;73:499-502.
16. Merenstein GB, Adams K, Weisman LE. Infection in the
neonate. Dalam: Merenstein GB, Gardner SL, penyunting. Handbook of neonatal
intensive care. Edisi ke-5. Philadelphia: Mosby; 2002.h.462-67.
17. Yabek SM. Management of septic shock. Pediatr Rev.
1980;2:83-7.
18. Adam D. Infections in Neonates and Prematures. Phil J
Microbiol Infect Dis.1992;22(2):32-4.
19. Infection and immunity. Dalam: Polin RA, Spitzer AR,
penyunting. Fetal and neonatal secrets. Philadelphia: Hanley&Belfus;
2001.h.261-71.
20. Freij BJ, McCracken GH. Acute Infections. Dalam: Avery
GB, Fletcher MA, MacDonald MG, penyunting. Neonatology Pathophysiology and
Management of the Newborn. Edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott
Williams&Wilkins; 1999.h.1196-207.
21. Hypotension and Shock. Dalam: Gomella TL, Cunningham MD,
Eyal FG, Tuttle D, penyunting. Neonatology management, procedures, on-call
problems, diseases, and drugs. Edisi ke-6. United States of America: McGraw
Hill;2009.h.324-30.
22. Stoll BJ, Hansen N, Fanaroff AA, Wright LL, dkk. Changes
in pathogens causing early-onset sepsis in very low birth weight infants. New
Engl J Med. 2002;347:240-7.
23. Landry DW, Oliver JA. Mechanisms of disease. New Engl J
Med. 2001;345:588-95.
24. Rai R, Singh DK. Intravenous adrenaline for shock in
neonates. Indian Pediatrics. 2010;1-2.
25. Leone M, Martin C. Rescue therapy in septic shock-is
terlipressin the last frontier?. Critical care.2006;10:131-2.
26. Haque KN. Immuno-modulation in neonatal sepsis:
intravenous immunoglobulin therapy in the prevention and treatment of neonatal
sepsis: is the answer, yes, no, or don’t know?. Haematologica
reports.2006;2(10):38-41.
Langganan:
Postingan (Atom)