Rabu, 20 Februari 2013

GAGAL NAFAS

I. PENGERTIAN
Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida (PaCO2) dan pH yang adekuat disebabkanoleh masalah ventilasi difusi atau perfusi (Susan Martin T, 1997)
Gagal nafas adalah kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan pertukaran oksigen dankarbondioksida dalam jumlah yangdapat mengakibatkan gangguan pada kehidupan (RS Jantung “Harapan Kita”, 2001)
Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju komsumsioksigen dan pembentukan karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg (hiperkapnia). (Brunner & Sudarth, 2001)

II. PATOFISIOLOGI
Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik dimana masing masing mempunyai pengertian yang bebrbeda. Gagal nafas akut adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang parunyanormal secara struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul. Sedangkan gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik seperti bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam (penyakit penambang batubara).Pasien mengalalmi toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk secara bertahap. Setelah gagal nafas akut biasanya paru-paru kembali kekeasaan asalnya. Pada gagal nafas kronik struktur paru alami kerusakan yang ireversibel.
Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi penapasan normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt tindakan yang dilakukan memberi bantuan ventilator karena “kerja pernafasan” menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitasvital adalah ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg).
Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuatdimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan pernapasan terletak di bawah batang otak (pons dan medulla). Pada kasus pasien dengan anestesi, cidera kepala, stroke, tumor otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia mempunyai kemampuan menekan pusat pernafasan. Sehingga pernafasan menjadi lambat dan dangkal. Pada periode postoperatif dengan anestesi bisa terjadi pernafasan tidak adekuat karena terdapat agen menekan pernafasan denganefek yang dikeluarkanatau dengan meningkatkan efek dari analgetik opiood. Pnemonia atau dengan penyakit paru-paru dapat mengarah ke gagal nafas akut.
Klik gambar untuk memperbesar



III. ETIOLOGI
1. Depresi Sistem saraf pusat
Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat pernafasan yang menngendalikan pernapasan, terletak dibawah batang otak (pons dan medulla) sehingga pernafasan lambat dan dangkal.
2. Kelainan neurologis primer
Akan memperngaruhi fungsi pernapasan. Impuls yang timbul dalam pusat pernafasan menjalar melalui saraf yang membentang dari batang otak terus ke saraf spinal ke reseptor pada otot-otot pernafasan. Penyakit pada saraf seperti gangguan medulla spinalis, otot-otot pernapasan atau pertemuan neuromuslular yang terjadi pada pernapasan akan sangatmempengaruhiventilasi.
3. Efusi pleura, hemotoraks dan pneumothoraks
Merupakan kondisi yang mengganggu ventilasi melalui penghambatan ekspansi paru. Kondisi ini biasanya diakibatkan penyakti paru yang mendasari, penyakit pleura atau trauma dan cedera dan dapat menyebabkan gagal nafas.
4. Trauma
Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab gagal nafas. Kecelakaan yang mengakibatkan cidera kepala, ketidaksadaran dan perdarahan dari hidung dan mulut dapat mnegarah pada obstruksi jalan nafas atas dan depresi pernapasan. Hemothoraks, pnemothoraks dan fraktur tulang iga dapat terjadi dan mungkin meyebabkan gagal nafas. Flail chest dapat terjadi dan dapat mengarah pada gagal nafas. Pengobatannya adalah untuk memperbaiki patologi yang mendasar
5. Penyakit akut paru
Pnemonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pnemonia kimiawi atau pnemonia diakibatkan oleh mengaspirasi uap yang mengritasi dan materi lambung yang bersifat asam. Asma bronkial, atelektasis, embolisme paru dan edema paru adalah beberapa kondisi lain yang menyababkan gagal nafas.
IV. TANDA DAN GEJALA A. Tanda
Gagal nafas total
• Aliran udara di mulut, hidung tidak dapat didengar/dirasakan.
• Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supra klavikuladan sela iga serta tidak ada pengembangan dada pada inspirasi
• Adanya kesulitasn inflasi parudalam usaha memberikan ventilasi buatan
Gagal nafas parsial
• Terdenganr suara nafas tambahan gargling, snoring, Growing dan whizing.
• Ada retraksi dada

B. Gejala
• Hiperkapnia yaitu penurunan kesadaran (PCO2)
• Hipoksemia yaitu takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis (PO2 menurun)
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Pemerikasan gas-gas darah arteri
Hipoksemia
Ringan : PaO2 < style="font-weight: bold;">VI. PENGKAJIAN
Pengkajian Primer
1. Airway
• Peningkatan sekresi pernapasan
• Bunyi nafas krekels, ronki dan mengi
2. Breathing
• Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung, takipneu/bradipneu, retraksi.
• Menggunakan otot aksesori pernapasan
• Kesulitan bernafas : lapar udara, diaforesis, sianosis
3. Circulation
• Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia
• Sakit kepala
• Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental, mengantuk
• Papiledema
• Penurunan haluaran urine
VII. PENTALAKSANAAN MEDIS
• Terapi oksigen
Pemberian oksigen kecepatan rendah : masker Venturi atau nasal prong
• Ventilator mekanik dengan tekanan jalan nafas positif kontinu (CPAP) atau PEEP
• Inhalasi nebuliser
• Fisioterapi dada
• Pemantauan hemodinamik/jantung
• Pengobatan
Brokodilator
Steroid
• Dukungan nutrisi sesuai kebutuhan

Senin, 18 Februari 2013

DHF

Demam Berdarah
A. Demam Berdarah Dengue :
Adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh virus dengue melalui gigitan nyamuk Aedes Aigypti.

Diagnosa (Kriteria WHO) :
Klinis :
  1. Panas 2 – 7 hari
  2. Tanda-tanda perdarahan, paling tidak tes RL yang positif.
  3. Adanya pembesaran hepar
  4. Gangguan sirkulasi yang ditandai dengan penurunan tekanan darah, nadi meningkat dan lemah serta akral dingin.

Laboratorium :
1. Terjadi hemokonsentrasi (PCV meningkat > 20 %)
2. Thrombocytopenia (Thrombocyte <100.000/cmm)

B. DHF Shock (DSS) : Adalah demam berdarah dengue yang disertai dengan gangguan sirkulasi, terdiri dari :
DHF grade III :
1. Tekanan darah sistolik < 80 mmHg
2. Tekanan nadi < 20 mmHg
3. Nadi cepat dan lemah
4. Akral dingin.

DHF grade IV :
1.Shock berat,
2.Tekanan darah tidak terukur, nadi tidak teraba.

PROSEDUR
Pada penderita dewasa :
1. Cairan :
  • Infus NaCl 0,9 % / Dextrose 5 % atau Ringer Laktat
  • Plasma expander, apabila shock sulit diatasi.
  • Pemberian cairan ini dipertahankan minimal 12 – 24 jam maksimal 48 jam setelah shock teratasi.
  • Perlu observasi ketat akan kemungkinan oedema paru dan gagal jantung, serta terjadinya shock ulang.

2. Tranfusi darah segar pada penderita dengan perdarahan masif. 3. Obat :
  • Antibiotika : diberikan pada penderita shock membangkang dan/ atau dengan gejala sepsis
  • Kortikosteroid : pemberiannya controversial Hati-hati pada penderita dengan gastritis.
  • Heparin : diberikan pada penderita dengan DIC Dosis 100 mg/kg BB setiap 6 jam i.v.
Terapi Cairan pada Demam Berdarah Dengue (DBD)



Pada penderita DSS (DBD Grade III dan IV) anak-anak

1. Cairan Cairan yang diberikan bisa berupa :
  • Kristaloid :

• Ringer Laktat
• 5 % Dextrose di dalam larutan Ringer Laktat
• 5 % Dextrose di dalam larutan Ringer asetat
• 5 % Dextrose di dalam larutan setengah normal garam faali, dan
• 5 % Dextrose di dalam larutan normal garam faali.
  • Koloidal :
• Plasma expander dengan berat molekul rendah (Dextran 40)
• Plasma.
  1. RL / D 5 % dalam RL / D 5 % dalam Ringer Asetat / larutan normal garam faali ----> diberikan 10 –20 ml/kg BB/ 1 jam.
  2. Pada kasus yang berat (grade IV) dapat diberikan bolus 10 ml/kg BB (1 x atau 2 x).
  3. Jika renjatan berlangsung terus (HCT tinggi) diberikan larutan koloidal (Dextran atau Plasma) sejumlah 10 – 20 ml/kg BB/ 1 jam.


2. Tranfusi darah
Diberikan pada :
  • Kasus dengan renjatan yang sangat berat atau renjatan yang berkelanjutan.
  • Gejala perdarahan yang nyata, misal : hematemesis dan melena.

Pemberian darah dapat diulang sesuai dengan jumlah yang dikeluarkan.
Jika jumlah thrombocyte menunjukkan kecenderungan menurun <>
  • Antipiretika : yang diberikan sebaiknya Parasetamol (mencegah timbulnya Efek samping pedarahan dan asidosis)
  • Obat penenang : diberikan pada kasus yang sangat gelisah. Dapat diberikan Valium 0,3 – 0,5 mg/kgBB/kali (bila tidak terjadi gangguan system pernapasan) atau Largactil 1 mg/kgBB/kali. Bila penderita kejang dapat diberikan kombinasi Valium (0,3 mg/kgBB) i.v. dan diikuti Dilantin (2 mg/kgBB/jam 3 kali sehari).

4. Oksigen

5. Koreksi asidosis Nabic dapat diberikan 1 – 2 mEq/kgBB, diberikan dengan kecepatan 1 mEq/menit, atau jumlah Nabic dapat dihitung dengan rumus : Kebutuhan Nabic : 0,5 x BB x Defisit HCO3- atau 0,3 x BB x Base defisit

6. Koreksi kelainan-kelainan yang terjadi

7. Kortikosteroid Penggunaannya masih controversial pada pengobatan DSS Bisa diberikan dengan dosis :
  • Hidrokortison 6 – 8 mg/kgBB/ 6 – 8 jam i.v.
  • Methyl prednisolon 30 mg/kgBB/hari i.v.
  • Dexamethazon 1 – 2 mg/kgBB sebagai dosis awal, kemudian 1 mg/kgBB/hari i.v.
8. Dopamine.



Minggu, 17 Februari 2013

Segmen ST pada penyakit jantung

Segmen ST adalah garis lurus yang menghubungkan ujung akhir kompleks WRS dengan bagian awal gelombang T. segmen ini mengukur waktu antara akhir depolarisasi ventrikel sampai pada mulainya repolarisasi ventrikel

Infark Miokard
Pada infark miokard, elevasi segmen ST merupakan perubahan kedia yang terjadi secara akut pada evolusi infark. Elevasi segmen ST menandakan jejas miokardium. Jejas mungkin menggambarkan derajat cedera sel yang bukan disebabkan oleh iskemia saja tetapi jejas ini juga berkemungkinan reversible dan pada beberapa kasus segmen ST dapat dengan cepat kembali ke normal. Namun pada banyak keadaan, elevasi segmen ST merupakan tanda yang dpat dipercaya bahwa benar-benar telah terjadi infark dan gambaran EKG infark yang komplit akan terjadi kemudian.

Sekalipun pada keadaan infark sejati, segmen ST biasanya kembali ke gari isoelektrik dalam beberapa jam. Elevasi segmen ST yang menetap sering menunjukkan pembentukan aneurisma ventrikel, perlemahan dan penggembungan dinding ventrikel Seperti inverse gelombang T, elevasi segmen ST dapat dilihat pada sejumlah keadaan lain disamping jejas miokardim. Bahkan ada satu tipe elevasi segmen ST yang ditemukan pada jantung normal. Fenomena ini disebut sebagai repolarisasi awal atau elevasi titik J. titik J atau titik sambungan, merupakan tempat mulainya segmen ST dari kompleks QRS.

Elevasi titik J amat lazim pada individu muda yang sehat. Segmen ST biasanya kembali ke garis isoelektris pada latihan fisik. Elevasi titik J tidak mempunyai arti patologis apapun. Cara membedakan elevasi segmen ST dengan titik J, yaitu elevasi segmen ST pada penyakit miokardium mempunyai konfigurasi tersendiri. Segmen ST ini melengkung ke atas dan cenderung bergabung dengan gelombang T. pada elevasi titik J, gelombang T mempertahankan bentuk gelombangnya secara bebas.

Infark dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok anatomia umum. Kelompok ini adalah infark inferior, infark dinding lateral, infark anterior dam infark posterior. Perubahan EKG khas pada infark hanya terjadi pada sadapan-sadapan yang memonitor atau dekat tempat infark.
 ANTERO SEPTAL MIOCARDIAC INFARCTION


 ACUT ANTERIOR ATAU ANTEROLATERAL MIOCARDIAC INFARCTION


ACUT INFFERO POSTERIOR MIOCARDIAC INFARTION


  • Infark inferior, mengenai diagfragma jantung. Infark ini sering disebabkan oleh oklusi arteri koronaria kanan atau cabang desendensnya. Perubahan-perubahan EKG yang khas infark dapat ditemukan pada sadapan II, III dan aVF inferior.
  • Pada infark dinding lateral, elevasi ST dapat terlihat pada sadapan I, AVL, V5, dan V6. Perhatikan gelombang Q pada sadapan II, III dan aVF, yang menandakan infark inferior sebelumnya.
  • Pada infark anterior, mengenai permukaan anterior ventricular kiri dan biasanya disebabkan penyumbatan arteri desendens anterior kiri. Salah satu sadapan prekordial V1 – V6) dapat menunjukkan perubahan
  • Pada infark posterior mengenai permukaan posterior jantung dan biasanya disebabkan oleh penyumbatan arteri koronaria kanan. Tidak ada sadapan yang memonitor dinding posterior. Oleh karena itu, diagnosis darus dibuat dengan mencari perbuahan-perubahan resiprokal pada sadapan-sadapan anterior, terutama V1. Karena kita tidak dapat mencari elevasi segmen ST dan gelombang Q pada sadapan posterior yang tidak dipasang, kita harus mencari depresi segmen ST dan gelombang R tinggi pada sadapan anterior, terutama sadapan V1. infark posterior merupakan cerminan dari infark anterior pada EKG.

Infark miokard tanpa gelombang Q
Satu-satuya perubahan EKG yang tampak pada infark tanpa gelombang Q adalah inverse gelombang T dan depresi segmen ST. inverse gelombang T dapat dilihat pada sadapan V2 sampai dengan V6 . depresi segmen ST paling nyata pada sadapan V2 dan V3

Perikarditis
 
Pada penyakit perikarditis akut dapat menyebabkan elevasi segmen ST dan gelombang T merata atau inversi. Perubahan ini mudah dirancukan dengan infark yang sedang berkembang. Tanda-tanda EKG tertentu dapat membantu membedakan perikarditis dari infark, seperti:
Perubahan segmen ST dan gelombang T pada perikarditis cenderung difus, melibatkan jauh lebih banyaj sadapan daripada pengaruh infark yang bersifat local
Pada perikarditis, inverse gelombang T biasanya baru terjadi sesudah segmen ST kembali ke garis isoelektrik. Pada infark, inverse gelombang T biasanya mendahului normalisasti segmen ST. Pada perikarditis, tidak terjadi pembentukan gelombang Q

Angina
Angina merupakan nyeri dada yang khas yang menyertai penyakit arteri koronaria. Pasien angina pada akhirnya dapat mengalami infark atau dapat tetap stabil selama beberapa tahun. Gambaran EKG yang diambil selama serangan angina akan menunjukaan depresi segmen ST ayai inverse gelombang T

Ada 2 cara untuk membedakan depresi segmen ST pada angina dengan segmen ST pada infark tanpa gelombang Q, yakni dengan gambaran klinis dan perjalanan waktunya. Pada angina, Segmen ST biasanya kembali ke garis isoelektris segera sesudah serangan hilang. Pada infark tanpa gelombang Q, segmen ST tetap depresi sekurang-kurangnya selama 48 jam.

Angina Prinzmetal
Ada satu tipe yang disertai dengan elevasi segmen ST. sementara angina yang tipikal biasanya disebabkan oleh pengerahan tenaga dan merupakan akibat dari penyakit kardiovaskular aterosklerotik yang progresif, pada angina prinzmetal dapat terjadi setiap waktu dan pada beberapa pasien disebabkan oleh spasme arteri koronaria. Sepertinya, elevasi segmen ST menggambarkan jejas mempunyai gambaran kengkung berkubah yang ditemukan pada infark sejati dan segmen STnya akan cepat kembali pada garis isoelektris bila pasien diberi obat antiangina.

Jantung Atlet
Pelari marathon dan atlet lain yang sedang mengikuti latihan ketahanan yang membutuhkan kapasitas anaero maksimaldapat menimbulkan perubahan pada EKGnya. Perubahan ini dapat membuat anda ngeri jika anda tidak terbiasa dengan keadaan ini. Perubahannya salah satunya dapat berupa: perubahan ST dan gelombang T yang non spesifik. Gambarannya yang khas dari perubahan ini yaitu elevasi segmen ST pada sadapan prekordial dengan gelombang T yang rata atau inverse.

Tidak satupun dari perubahan EKG ini yang perlu dikhawatirkan dan tidak memerlukan pengobatan. Lebih dari satu atlet ketahanan yang menjalani pemeriksaan EKG rutin, dimasukkan ke CCU karena dokternya tidak paham tentang perubahan-perubahannya.

Pada blockade cabang berkas dan repolarisasi
 
Pada blockade cabang berkas kanan maupun kiri, rangkaian repolarisasi juga terkena. Pada blockade cabang berkas kanan, sadapan prekordial kanan akan menunjukkan depresi segmen ST dan inverse gelombang T, tepat seperti gambaran strain yang terjadi pada hipertrofi ventrikel. Serupa halnya pada blockade cabang berkas kiri, depresi segmen ST dan inverse gelombang T dapat ditemukan pada sadapan-sadapan lateral kiri.

Pengaruh obat-obatan
Digitalis, ada dua kelompok perubahan EKg yang disebabkan oleh digitalis; kelompok yang terjadi pada kadar obat terapeutik dalam darah dan kelompok yang terjadi pada kadar darah toksik. Pada perubahan EKG yang berkaitan dengan kadar terapeutik darah. Kadar terapeutik digitalis menghasilkan perubahan segmen ST dan gelombang T pada kebanyakan orang yang minum obat tersebut. Perubahan ini dikenal dengan efek digitalis dan berupa depresi segmen ST dengan gelombang T rata atau inverse.

Depresi segmen ST mempunyai lereng turun yang sangat landai yang hamper tidak dapat dikenali muncul dari gelombang R didepannya.gambaran yang khas ini memungkinkan untuk membedakan pengaruh digitalis dari depresi segmen ST yang lebih simetris akibat iskemia. Efek digitalis biasanya paling menonjol pada sadapan yang mempunyai gelombang R tinggi. Ingat: efek digitalis adalah normal juga dapat diramalkan dan obat tidak perlu dihentikan.

Hipokalemia
Pada hipokalemia, kembali EKG dapat menjadi alat ukur yang lebih baik untuk toksisitas serius dibandingkan dengan kalium serum. Dapat ditemukan 3 perubahan, yang terjadi tanpa urutan tertentu, yaitu: Depresi segmen ST, gelombang T merata dan munculnya gelombang U.
Istilah Gelombang U diberikan pada gelombang yang muncul setelah gelombang T pada siklus jantung. Arti fisiologis tepatnya belum dipahami. Walaupun gelombang U merupakan tanda hipokalemi yang sangat khas, gelombang u ini sendiri seja tidak bersifat diagnostic. Keadaan-keadaan lain dapat menghasilkan gelombang U yang menonjol dan gelombang U kadang-kadang dapat ditemukan pada pasien dengan jantung normal dan kadar kalium serum yang normal.

Hipotermia
Ketika suhu tubuh turun di bawah 30
, salah satu perubahan yang terjadi pada EKG berupa elevasi segmen ST yang membedakan dan betul-betul diagnostic mingkin muncul. Elevasi ini berupa kenaikan tegak lurus mendadak pada titik J dan kemudian menurun kembali sama mendadaknya ke garis isoelektrik. Hasil konfigurasinya disebut gelombang j atau gelombang Osborn.

Senin, 14 Januari 2013


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FKUP/RS HASAN SADIKIN BANDUNG
Sari Kepustakaan        :    /Mei 2010
Subdivisi                     : Perinatologi
Oleh                            : Dinna Meinardaniawati
Pembimbing                : Prof. Dr. H. Abdurachman S, dr., SpA(K)
                                      Prof. Dr. H. Sjarif  Hidajat Effendi, dr., SpA(K)
                                      dr. Aris Primadi, SpA(K)
                                      dr. Tetty Yuniati, SpA(K), M.Kes
                                      dr. Fiva Aprilia Kadi, SpA, M.Kes
Hari/Tanggal               : Senin, 7 Juni 2010

SYOK SEPTIK PADA NEONATUS

1.      PENDAHULUAN
Syok Sepsis merupakan masalah kesehatan utama yang melibatkan jutaan manusia di seluruh dunia. Penyakit ini masih menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada neonatus, bersama dengan timbulnya disfungsi organ multipel yang terjadi pada pasien sepsis.1,2,3,4 Syok septik menjadi suatu permasalahan klinis yang sangat kompleks, terjadi akibat keadaan sepsis yang memburuk.4 Faktor-faktor risiko yang meningkatkan kejadian sepsis selama periode neonatal, yaitu prematuritas, berat badan lahir rendah, pembedahan, pasien dengan ventilasi mekanik, pemberian nutrisi parenteral, dan adanya flora abnormal gastrointestinal. Mortalitas sepsis neonatorum berhubungan dengan disfungsi organ multipel, sebagaimana terjadi pada pasien dewasa. Penanganan yang tepat diperlukan untuk mencegah terjadinya syok septik dan disfungsi organ multipel tersebut.1,4
Hasil akhir syok septik dan sepsis berat pada neonatus dan anak telah mengalami perbaikan sebelum tahun 2002 dengan adanya penanganan the advent of neonatal and pediatric intensive care.5,6,7 Insidens dari sepsis itu sendiri diketahui meningkat menurut kelompok umur pada dua dekade terakhir.6 Di Amerika Serikat sepsis diperkirakan terjadi sekitar 750.000 kasus setiap tahunnya pada populasi menurut umur dengan jumlah yang terus meningkat, yaitu pada  pasien dengan organisme yang resisten terhadap pengobatan atau compromised immune system.3,8,9  Pada neonatus, sepsis mempunyai insidens 1-10 dari 1000 kelahiran hidup, dengan angka mortalitas 15-50%, atau sekitar 26% diseluruh dunia.10,11 Referensi lain  menyebutkan angka mortalitas akibat syok septik  adalah sebesar 40-70%, sedangkan yang disebabkan oleh sepsis berat adalah 25-30%.3 Angka kematian akibat syok septik tergantung pada tempat awal timbulnya infeksi, bakteri patogen, adanya Multiorgan Dysfunction Syndrome (MODS), dan respon imun pejamu.4 Sepsis bakterialis yang menyebabkan syok septik menjadi penyebab utama tingginya angka morbiditas dan mortalitas, terutama pada bayi dengan berat badan lahir rendah.4,12
Pada tahun 2002, The American College of Critical Care Medicine (ACCM) membuat pedoman Clinical Practice Parameters for Hemodynamic Support of Pediatric and Neonatal Shock yang merupakan pedoman penanganan syok septik pada neonatus dan anak yang dimodifikasi pada tahun 2007.5 Banyak penelitian yang telah dilakukan berdasarkan pada pedoman dan rekomendasi ACCM untuk penanganan syok septik berhasil membuktikan manfaat dan efektivitasnya dalam menurunkan angka kematian akibat syok septik.5 Penelitian uji klinis dan eksperimental mengenai syok septik telah membuktikan bahwa waktu sangat memegang peranan penting. Penanganan syok septik secara dini dan agresif dalam pemberian cairan resusitasi (early, aggeressive fluid resuscitation) memberikan hasil keluaran yang lebih baik.13
Keterlambatan diagnosis dan penanganan syok septik yang kurang tepat menyebabkan angka kematian masih tinggi dengan insidens yang cenderung terus meningkat setiap tahunnya.9 Hal ini mengharuskan para klinisi memiliki pemahaman tentang etiologi,  patofisiologi, dan penatalaksanaan syok septik.  Dalam referat ini akan dibahas mengenai penegakan diagnosis syok septik pada neonatus dan penatalaksanaannya.

2. DEFINISI
Syok septik merupakan keadaan sepsis yang memburuk, awalnya didahului oleh suatu infeksi. Definisi systemic inflammatory response syndrome (SIRS) adalah suatu respon peradangan terhadap adanya infeksi bakteri, fungi, ricketsia, virus, dan protozoa. Respon peradangan ini timbul ketika sistem pertahanan tubuh tidak cukup mengenali atau menghilangkan infeksi tersebut.4  Sepsis adalah SIRS yang disertai adanya bukti infeksi.3,4,9  Sepsis berat adalah sepsis yang disertai dengan salah satu disfungsi organ kardiovaskular atau acute respiratory distress syndrome, atau ≥2 disfungsi organ lain (hematologi, renal, hepatik).3,4,9,14 Syok septik adalah sepsis berat yang disertai adanya hipotensi atau hipoperfusi yang menetap selama 1 jam, walaupun telah diberikan resusitasi cairan yang adekuat.3,4,9  Literatur lain menyebutkan syok septik adalah sepsis yang disertai disfungsi organ kardiovaskular, yang masih berlangsung setelah diberikan cairan isotonik bolus intravena  > 40 ml/kgbb selama 1 jam.14

2.1 Kriteria Disfungsi Organ, antara lain sebagai berikut:14
2.1.1. Disfungsi kardiovaskular
Tekanan darah yang menurun (hipotensi) < persentil ke-5 menurut kelompok umur atau tekanan darah sistolik > 2 SD dibawah normal menurut kelompok umur,14 atau
Kebutuhan akan obat-obatan vasoaktif untuk menstabilkan tekanan darah (dopamin > 5 mikrogram/kgbb/menit, dobutamin, epinefrin, atau norepinefrin), atau
   Dua dari gejala sebagai berikut: oliguria (output urin < 0,5 ml/kgbb/jam), cappilary refill time memanjang > 3 detik, perbedaan suhu tubuh perifer dan inti > 30C.
2.1.2 Disfungsi respiratori   
PaCO2 > 20 mmHg di atas batas normal.
Memerlukan FiO2 > 50% untuk memperoleh saturasi > 92%.
Kebutuhan akan ventilasi mekanik invasif atau non-invasif.
2.1.3 Disfungsi neurologis
   Glasgow come scale < 11, atau
   Perubahan status mental akut disertai penurunan GCS > 3 dari batas normal.
2.1.4 Disfungsi Hematologi
    Jumlah Trombosit < 80.000/mm3, atau menurun > 50% dari jumlah trombosit tertinggi yang tercatat selama 3 hari terakhir.
2.1.5 Disfungsi Renal
Kadar kreatinin serum > 2 kali di atas nilai normal menurut umur.14 Kriteria acute renal failure pada neonatus yaitu jika kadar ureum darah mencapai > 20 mg/dl.15
2.1.6 Disfungsi Hepar
Kadar alanin transaminase > 2 kali di atas nilai normal menurut umur.14

Tabel 1. Definisi Syok menurut American College of Critical Care Medicine Hemodynamic
Cold or Warm Shock     Menurunnya perfusi yang bermanifestasi sebagai perubahan status mental,
                                      capillary refill > 2 detik (cold shock) atau pengisian kembali kapiler cepat (warm
                                        shock),  tekanan nadi perifer menyempit (cold shock) atau bounding (warm shock),
                                      ekstremitas dingin dan mottling (cold shock), atau output urin yang menurun < 1
                                      ml/kgbb/jam.

Syok refrakter cairan     Syok yang menetap walaupun telah diberikan cairan  resusitasi ≥ 60 ml/kgbb 
atau resisten                   dan infus Dopamin sampai 10 mikrogram/kgbb/menit.
dopamin  

Syok resisten                Syok yang menetap walaupun telah diberikan direct acting catecholamines;
katekolamin                  epinefrin atau norepinefrin.

Syok refrakter                Syok yang menetap walaupun telah dilakukan goal directed therapy menggunakan
                                     Obat inotropik, vasopressor, vasodilator, dan pemeliharaan metabolik rumatan 
                                     serta homeostasis hormonal.

Sumber: Brierley, Carcillo, Choong, Cornell, 2007.5

3. ETIOLOGI
Infeksi yang terjadi pada pejamu berasal dari adanya kontak dengan organisme patogen potensial. Organisme patogen tersebut berproliferasi dan mempengaruhi pertahanan tubuh pejamu. Sumber infeksi pada neonatus dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu: infeksi intrauterin (transplasental), perinatal selama proses persalinan (intrapartum), dan infeksi yang didapat dari rumah sakit selama periode neonatal (postnatal) dapat berasal dari ibu atau lingkungan rumah sakit.16
Pada sebagian besar kasus syok septik disebabkan oleh kuman gram negatif, baik karena bakteriemia atau endotoksemia, namun kuman gram positif juga diketahui dapat menyebabkan syok. Jenis kuman gram negatif yang sering menyebabkan syok septik adalah Escherichia coli dan grup Klebsiella-Aerobacter.17 Eschericia coli adalah salah satu organisme enterik maternal yang berkolonisasi di dalam saluran gastrointestinal neonatus, yang dapat masuk ke dalam pembuluh darah.18,19 Diplococcus pneumonia, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus β hemolyticus merupakan kuman gram positif yang sering menjadi penyebab pada syok septik.17 Staphylococcus Aureus dan bakteri gram negatif lebih sering ditemukan di negara berkembang.20  
            Organisme penyebab paling banyak sepsis neonatorum telah mengalami perubahan pada beberapa dekade terakhir, dan bervariasi secara geografis.18,20 Saat ini, Streptococcus grup B merupakan bakteri penyebab paling banyak.18,19,20,21 Streptococcus grup B didapat baik intrapartum maupun postpartum.18,19,20 Selama beberapa tahun di Amerika Serikat, organisme penyebab sepsis yang paling sering ditemukan adalah golongan bakteri gram negatif. Namun, pada tahun 2000 bakteri gram positif ditemukan sebesar 52,1% dari keseluruhan kasus sepsis yang lebih tinggi dibandingkan dengan bakteri gram negatif sebesar 37,6%. Sebagian kasus tertentu, ditemukan organisme multipel sebagai penyebabnya, yaitu sekitar (4,7%),  jamur (4,6%), dan bakteri anaerob (1,0%). Selama periode kurang lebih 20 tahun sejak tahun 1979 sampai 2000 infeksi bakteri gram positif meningkat dengan rata-rata 26,3% pertahun dan infeksi jamur meningkat sebesar 9% selama periode tersebut.6
            Penyebab sepsis bakterialis juga bervariasi berdasarkan usia postnatal. Pada tahun 1991-1993, dilakukan penelitian kohort di Amerika Serikat dengan data yang diambil dari 12 pusat kesehatan sebanyak 7.861 bayi dengan berat badan lahir rendah.20 Hasil penelitian menyatakan insidens sepsis awitan dini yang terjadi dalam 72 jam pertama kehidupan sekitar 1,9% dan sepsis awitan lanjut sebanyak 25%.20 Sepsis awitan dini merupakan penyebab kematian terutama pada bayi dengan berat badan lahir rendah (<1500 gram).22

4. KLASIFIKASI
Vasokonstriksi adalah suatu respon normal terhadap keadaan tekanan arteri sangat rendah untuk memenuhi perfusi jaringan, seperti pada syok hemoragik akut atau syok kardiogenik. Pada syok septik, seringkali hipotensi yang timbul adalah akibat kegagalan dari otot-otot halus pembuluh darah berkonstriksi.23
Syok septik merupakan kombinasi dari tiga tipe klasik syok yaitu: hipovolemik, kardiogenik, dan distributif.4 Syok hipovolemik terjadi akibat kehilangan cairan intravaskular melalui kebocoran kapiler, syok kardiogenik terjadi karena efek depresan miokardium akibat sepsis, dan syok distributif  diakibatkan oleh menurunnya tahanan vaskular sistemik.4 Syok septik adalah bentuk dari syok distributif yang ditandai oleh vasodilatasi dari pembuluh darah arteri dan vena.24 Syok septik dibedakan ke dalam 2 jenis, yaitu warm Shock dan cold shock. Warm shock ditandai dengan curah jantung yang meningkat, kulit yang hangat dan kering, serta bounding pulse dan cold shock ditandai oleh curah jantung yang menurun, kulit lembab dan dingin, serta nadi yang lemah.22

5. PATOFISIOLOGI
Syok terjadi karena adanya kegagalan sirkulasi dalam upaya memenuhi kebutuhan tubuh.4 Hal ini disebabkan oleh menurunnya cardiac output atau kegagalan distribusi aliran darah dan kebutuhan metabolik yang meningkat disertai dengan atau tanpa kekurangan penggunaan oksigen pada tingkat seluler.4 Tubuh mempunyai kemampuan kompensasi untuk menjaga tekanan darah melalui peningkatan denyut jantung dan vasokonstriksi perifer.4,23 Hipotensi dikenali sebagai tanda yang timbul lambat terutama pada neonatus  karena mekanisme kompensasi tubuh mengalami kegagalan sehingga terjadi ancaman kardiovaskuler.4
Respon imun pejamu, melalui sistem imun seluler dan humoral serta reticular endothelium system (RES), dapat mencegah terjadinya sepsis. Respon imun ini  menghasilkan kaskade inflamasi dengan mediator – mediator yang sangat toksik termasuk hormon, sitokin, dan enzim. Jika proses kaskade inflamasi ini tidak terkontrol, maka SIRS terjadi dan dapat berlanjut dengan disfungsi sel, organ, dan gangguan sistem mikrosirkulasi.4
            Kaskade inflamasi dimulai dengan toksin atau superantigen. Endotoksin (suatu lipopolisakarida), mannosa, dan glikoprotein, komponen dinding sel bakteri gram negatif, berikatan dengan makrofag meyebabkan aktivasi dan ekspresi gen inflamasi. Superantigen atau toksin yang berhubungan dengan bakteri gram positif, mycobacteria, dan virus akan mengaktivasi limfosit dan menginisiasi kaskade mediator inflamasi.4
Gangguan mikrosirkulasi dalam bentuk jejas endotel, akan melepaskan substansi vasoaktif, perubahan tonus kardiovaskuler, obstruksi mekanis kapiler karena adanya aggregasi elemen seluler, dan aktivasi sistem komplemen.4 Pada tingkat seluler terdapat penurunan fosforilasi oksidatif sekunder karena penurunan penghantaran oksigen, metabolisme anaerob karena penurunan adenosine triphosphate (ATP), penurunan glikogen, produksi laktat, peningkatan kalsium sitosol, aktivasi membran fosfolipase, dan pelepasan asam lemak dengan pembentukan prostaglandin.4
Respon biokimia termasuk produksi metabolit asam arakhidonat, melepaskan faktor depresan jantung, endogen opiat, aktivasi komplemen, dan produksi mediator lainnya. Metabolit asam arakhidonat seperti (1)thromboxane A2 menyebabkan vasokontriksi dan agregasi trombosit, (2)prostaglandin, seperti PGF2 yang menyebabkan vasokontriksi, dan PGI2  menyebabkan vasodilatasi, serta (3)leukotrien yang menyebabkan vasokontriksi, bronkokontriksi, dan peningkatan permeabilitas kapiler. Faktor depresan jantung, tumor necrosis factor-α (TNF-α), dan beberapa interleukin menyebabkan depresi miokardium melalui peningkatan perangsangan nitrit oksida sintase. Opiat endogen, termasuk didalamnya β-endorfin, menurunkan aktivasi simpatis, menurunkan kontraksi miokardium, dan menyebabkan vasodilatasi. Aktivasi sistem komplemen merangsang lepasnya mediator vasokontriksi yang akan menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler, vasodilatasi dan aktivasi dan agregasi trombosit dan granulosit..4
           
6. DIAGNOSIS
Pengenalan dini syok septik sangat esensial untuk memperoleh outcome yang baik. Syok septik merupakan suatu diagnosis klinis, yang ditandai oleh adanya perfusi yang menurun.6  Stadium awal syok septik dapat dikenali dengan ditemukan takikardi, bounding pulse, serta perubahan kesadaran. Stadium lebih lanjut dapat ditemukan waktu pemanjangan pengisian kapiler, dan akhirnya tanda lambat yang timbul adalah hipotensi.5  Syok septik harus didiagnosis secara klinis sebelum timbulnya hipotensi, yaitu hipotermi, atau hipertermi, perubahan status mental, vasodilatasi perifer (warm shock) atau vasokontriksi dengan capillary refill >  3 detik (cold shock). Ambang batas denyut jantung yang berhubungan dengan meningkatnya mortalitas pada bayi dengan keadaan  critically ill adalah HR < 90 x/menit atau > 160x/menit.5
Syok septik harus dicurigai pada bayi baru lahir yang mengalami takikardi,  respiratory distress, malas menetek, tonus buruk, sianosis, takipnea, diare, atau penurunan perfusi, khususnya dengan adanya riwayat ibu dengan korioamnionitis atau ketuban pecah lama.21 Pemeriksaan laboratorium lengkap harus dilakukan pada pasien syok septik, meliputi pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, dan elektrolit, serta mencari sumber infeksi dengan pemeriksaan rontgen toraks.17 Pemeriksaan kultur dari  darah dan urin juga dilakukan, pungsi lumbal untuk kultur cairan serebrospinal (CSF), dan kultur yang secara klinis diperlukan atau sesuai indikasi dapat membantu menegakan diagnosis.17,21 Petanda biologis sebagai suatu respon terhadap infeksi yang meningkat salah satunya adalah C-reactive protein (CRP) yang membutuhkan waktu 12-24 jam untuk mencapai kadar dalam darah yang dapat di ukur.17

7. PENATALAKSANAAN
Tujuan penanganan syok adalah untuk menjaga tekanan perfusi.5 Berdasarkan suatu penelitian menyatakan bahwa penanganan syok early goal-directed resuscitation dapat meningkatkan angka harapan hidup penderita syok septik.9 Penggunaan ekspansi volume dan agen inotropik diperlukan untuk mencapai perfusi renal dan jaringan yang adekuat. Pada tahap awal digunakan penggunaan volume ekpansi cairan, berikutnya digunakan  agen inotropik.21  Dopamin dan dobutamin merupakan obat-obatan inotropik yang digunakan untuk mengatasi syok pada neonatus.24 Penggunaan kortikosteroid diberikan jika ekspansi volume dan agen inotropik tidak dapat mengatasi syok. Terapi kortikosteroid intravena pada sepsis masih kontroversial.25 Suatu penelitian menunjukkan penggunaan dosis tunggal dapat dilakukan pada hipotensi refrakter tanpa menyebabkan reaksi simpang pada neonatus, tetapi berdasarkan tinjauan penelitian lain menyebutkan tidak terdapat cukup bukti untuk mendukung pemberian rutin steroid pada hipotensi neonatus.21
Terapi antibiotik empiris diberikan setelah pengambilan spesimen untuk kultur, yang dianjurkan adalah antibiotik broad spectrum, seperti ampisilin intravena dan gentamisin. Vankomisin dapat diberikan menggantikan ampisilin, jika diduga adanya infeksi stafilokokus (sering pada  neonatus yang berusia lebih dari 3 hari dengan monitoring invasif menggunakan kateter atau chest tube). Beberapa institusi menganjurkan penggunaan sefotaksim, terutama jika terdapat  infeksi sistem saraf pusat, penggunaan vankomisin menggantikan gentamisin untuk mencegah nefrotoksisitas. Dipertimbangkan penggunaan ini  terutama pada kuman gram negatif  yang spesifik dan jika terdapat resistensi.21
Pemberian intravena imunoglobulin (IVIG), penggunaannya masih kontroversial. Pada beberapa tinjauan terkini ditemukan bahwa penggunaannya dapat menurunkan mortalitas sepsis sebesar 3%.21  IVIG diketahui dapat membatasi kerusakan jaringan yang dicetuskan oleh aktivasi faktor komplemen dan merubah komplek imun inflammatory potential soluble.26 Beberapa institusi memberikan dosis tunggal  IVIG pada neonatus, seperti Veronate (antistafilokokus IVIG spesifik), tetapi pemberiannya tidak terbukti efektif sehingga hal ini memerlukan evaluasi lebih lanjut.21 Penatalaksanaan syok septik pada neonatus diajukan dalam bentuk algoritma berikut ini:

Unit Gawat Darurat

0 menit
Lihat tanda-tanda penurunan perfusi, sianosis, dan RDS.
Jaga jalan nafas dan buatlah akses menurut panduan NRP





5 menit




Syok belum dapat ditangani?
Resusitasi Awal: Bolus NaCl isotonis 10cc/kg atau koloid hingga 60 cc/kg sampai perfusi membaik, kecuali bila terjadi hepatomegali.
Perbaiki hipoglikemia & hipokalsemia. Mulai pemberian antibiotik.
Mulai pemberian prostaglandin hingga adanya lesi ductal-dependent dapat disingkirkan.









15 menit

Syok Refrakter Cairan: Titrasi Dopamin 5-9 μg/kg/menit. Tambahkan Dobutamin hingga 10
μg/kg/menit

Syok belum dapat ditangani?
 









60 menit
Syok belum dapat ditangani?
Syok refrakter cairan resisten-dopamin :  Titrasi epinefrin 0.05-0.03 mcg/kg/menit
Unit Perawatan Intensif



















Cold shock dengan tekanan darah normal dan bukti fungsi ventrikel kiri buruk: Bila Scv02<70%
Aliran SVC<40 mL/kg/menit atau CI<3.3 L/m2/menit,
Tambahkan vasodilator (nitrovasodilator, milrininone) dengan volume loading.

Warm shock dengan tekanan darah rendah: Tambahkan volume dan norepinefrin. Pertimbangkan vasopressin, terlipressin, atau angiotensin. Gunakan inotropik untuk menjaga agar ScvO2>70%, aliran SVC > 40mL/Kg/menit, dan CI 3.3L/m2/menit
Cold shock  dengan tekanan darah rendah dan bukti adanya disfungsi ventrikel kanan:
Bila PPHN dengan ScvO2<70% aliran SVC<40mL/kg/menit atau CI<3.3 L/m2/menit tambahkan inhalasi nitrit oksida, pertimbangkan milrininone, pertimbangkan Iloprost terinhalasi atau adenosine intravena.
Syok resisten-katekolamin :  Monitor CVP di NICU,  MAP-CVP & ScvO2 normal > 70%, aliran SVC > 40 mL/kg/menit atau CI 3.3 L/m2/menit














Syok belum dapat ditangani?
Syok belum dapat ditangani?
Syok Refrakter :  Atasi dan singkirkan kemungkinan efusi perikardium dan pneumotoraks, gunakan hidrokortison untuk insufisiensi adrenal absolut, dan triiodotironin untuk hipotiroidisme. Mulai pemberian pentoksifilin pada neonatus BBLSR. Pertimbangkan untuk menutup PDA bila signifikan secara hemodinamik
 









Syok belum dapat ditangani?
ECMO
 





Gambar 1. Algoritma Penatalaksanaan Syok Septik Pada Neonatus
Sumber: Brierley, 20095

7.1 Penanganan ABC: Satu Jam Pertama Resusitasi
7.1.1 Tujuan:
 Menjaga jalan nafas, oksigenasi, dan ventilasi; mengembalikan dan menjaga sirkulasi, didefinisikan sebagai perfusi dan tekanan darah normal, menjaga sirkulasi  neonatus, dan menjaga denyut jantung dalam ambang batas normal.5
7.1.2 Jalan Nafas dan Pernafasan:
Kepatenan jalan nafas, oksigenasi dan ventilasi adekuat harus secara ketat dimonitor dan dipertahankan. Keputusan untuk mengintubasi dan ventilasi berdasarkan diagnosis klinis dapat dilihat dengan meningkatnya usaha napas (work of breathing), usaha napas yang tidak adekuat, hipoksemia berat, atau gabungan dari keadaan tersebut.5
7.1.3 Sirkulasi:
Akses vaskuler harus diperoleh dengan cepat menurut panduan program resusitasi neonatus, pemasangan kateter vena dan arteri umbilikal lebih banyak dilakukan.5
7.1.4 Resusitasi Cairan:
Diberikan bolus cairan 10 mL/kgbb, kemudian dilakukan observasi kemungkinan timbulnya hepatomegali dan meningkatnya kerja napas. Cairan dapat diberikan sampai 60 mL/kgbb pada  satu jam pertama.5
7.1.5 Dukungan Hemodinamik:
Pasien dengan syok berat memerlukan dukungan kardiovaskular selama resusitasi cairan. Dopamin dapat digunakan sebagai agen lini pertama. Pemberian awal yang disarankan kombinasi dopamin dosis rendah (<8μg/kgbb/menit) dan dobutamin (hingga 10μg/kgbb/menit). Bila pasien tidak merespon dengan adekuat pada intervensi ini, maka diberikan epinefrin (0,05-0,3μg/kgbb/menit) dapat diberikan untuk mengembalikan tekanan darah dan perfusi normal.5

7.2 Stabilisasi: Setelah 1 Jam Pertama (Dukungan Hemodinamik Unit Perawatan Intensif   
       Neonatus/NICU)
7.2.1 Tujuan:
Mengembalikan dan menjaga denyut jantung dalam ambang batas normal, menjaga perfusi dan tekanan darah normal, menjaga sirkulasi neonatus, ScvO2 >70%, CI >3,3L/menit/m2, dan  aliran SVC >40 mL/kgbb/menit.5
7.2.2 Resusitasi Cairan:
          Kehilangan cairan dan hipovolemia persisten karena kebocoran kapiler difus dapat berlangsung berhari-hari. Kristaloid adalah cairan pilihan pada neonatus dengan Hb > 12 g/dL. Dapat diberikan transfusi PRC bagi neonatus dengan kadar Hb < 12 g/dL. Continuous renal replacement therapy (CRRT) atau diuretik dianjurkan untuk neonatus yang mengalami overload cairan 10% dan tidak dapat mencapai keseimbangan cairan. Larutan infus isotonik mengandung D10% yang diberikan dengan kecepatan pemberian rumatan menyediakan penghantaran glukosa untuk  mencegah hipoglikemi.5
7.2.3 Dukungan Hemodinamik:
Pentoxifylline IV 6 jam per hari selama 5 hari dapat digunakan untuk mengatasi syok septik pada bayi dengan berat badan lahir sangat rendah. Pada neonatus dengan fungsi ventrikel kiri yang buruk dan tekanan darah normal, penambahan nitrovasodilator atau phosphodiesterase inhibitor terhadap epinefrin (0,05– 0,3 mikrogram/kgbb/menit)  cukup efektif namun harus dimonitor untuk kemungkinan terjadinya toksisitas. Norepinefrin  efektif untuk mengatasi hipotensi refrakter, namun ScvO2 harus dijaga > 70%.5

7.3 Terapi ECMO dan CRRT untuk Syok Refrakter
Neonatus dengan syok refrakter harus dicurigai mempunyai morbiditas yang tidak biasa atau memerlukan penanganan spesifik, termasuk efusi perikardium (perikardiosentesis), pneumotoraks (torakosentesis), kehilangan darah yang terus berlangsung (penggantian darah/hemostasis), hipoadrenalisme (hidrokortison), hipotiroidisme (triiodotironin), inborn errors of metabolism (responsif kepada infus glukosa dan insulin), dan/atau penyakit jantung sianosis atau obstruktif (responsif kepada prostaglandin E1), atau PDA yang sangat besar (penutupan PDA).5 Apabila berbagai penyebab ini telah dapat disingkirkan, maka extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) merupakan terapi yang penting untuk dipertimbangkan bagi neonatus cukup bulan.4,5
Tingkat survival rate ECMO saat ini untuk sepsis neonatorum adalah 80%. Pada beberapa pusat kesehatan, syok refrakter dengan PaO2 < 40 mm Hg setelah terapi maksimal dianggap sebagai indikasi yang cukup untuk mulai memberikan terapi ECMO. Selain daripada itu, keuntungan lain adalah berkurangnya pemberian inotropik bila digunakan ECMO.
5
8. PROGNOSIS
Angka mortalitas syok septik sangat tergantung pada lokasi pertama kali infeksi, patogenisitas organisme penyebab, timbulnya multiorgan disfunction syndrome (MODS), serta respon imun dari pejamu. Pada neonatus, terutama dengan berat badan lahir rendah, mempunyai risiko tinggi terhadap timbulnya sepsis berat yang dapat memburuk menjadi syok septik.4

9. RANGKUMAN
Sampai saat ini syok septik merupakan penyebab kematian paling sering pada pasien dengan sepsis, termasuk neonatus. Keberhasilan dalam penatalaksanaan syok septik adalah dengan kecepatan dan ketepatan dalam menegakan diagnosis, pemberian regimen terapi, serta pemanfaatan waktu yang efektif. Melalui penanganan yang tepat terhadap syok septik, diharapkan dapat memperbaiki prognosis dan menurunkan angka mortalitas.

 REFERENSI
1.      Eaton S. Impaired energy metabolism during neonatal sepsis: the effects of glutamine. Procceedings of the nutrition society. 2003; 62:745-51.
2.      Palmer J. Sepsis and septic shock. Neonatology. New Bolton Center:1-7.
3.      Russel JA. Management of sepsis. New Engl J Med. 2006;355:1699-713.
4.      Enrionne MA, Powell KR. Sepsis, Septic Shock, and Systemic Inflammatory Response Syndrome. Dalam: Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE, Stanton BF, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders Elsevier;2007.h.1094-99.
5.      Brierley J, Carcillo JA, Choong K, Cornell T, DeCaen A, Deymann A, dkk. Clinical practice parameters for hemodynamic support of pediatric and neonatal septic shock: 2007 update from the American College of Critical Care Medicine. Crit Care Med.2009;37(2):666-88.
6.      Dowd MD. Management of pediatric septic shock in the emergency department. Pem-Database.Org.2003;1-12.
7.      Carcillo JA, Field AI. Clinical practice parameters for hemodynamic support of pediatric and neonatal patients in septic shock. Crit Care Med.2002;30(6): 1365-78
8.      Hotchkiss RS, Karl IE. The pathophysiology and treatment of sepsis. New Engl J Med. 2003;348(2):138-50.
9.      Dellinger RP, Levy MM, Carlet JM, Bion J, Parker MM, Jaeschke R, dkk. Surviving Sepsis Campaign: International guidelines for management of sepsis berat and septic shock: 2008. Intensive Care Med.2008;34;17-60.
10.  Nupponen I, Andersson S, Jarvenpaa AL, Kautiainen H. Neutrophil CD11b Expression and circulating interleukin-8 as diagnostic markers for early-onset neonatal sepsis. Pediatrics. 2001;108:1-6.
11.  Seale AC, Mwaniki M, Newton CR, Berkley JA. Maternal and early onset neonatal bacterial sepsis: burden and strategies for prevention in sub-Saharan Africa. Lancet Infect Dis. 2009;9:428-38.
12.  Puopolo KM. Bacterial and Fungal Infections. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Starck AR, penyunting. Manual of Neonatal Care. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins;2004.h.275-93.
13.  Han YY, Carcillo JA, Dragotta MA, Bills DM, Watson RS, Westerman ME, dkk. Early reversal of pediatric neonatal septic shock by community physicians is associated with improved outcome. Pediatrics. 2003;112:793-9.
14.  Khilnani P. Management of Septic Shock. Pediatric oncall. Di unduh tanggal 8 Mei 2010.Tersedia:http://www.pediatriconcall.com/fordoctor/diseasesandcondition/PEDIATRIC_EMERGENCIES/management_severe_sepsis_In_children.asp
15.  Mathur NB. Agarwal HS, Maria A. Acute renal failure in neonatal sepsis. Indian Journal of Pediatrics. 2006;73:499-502.
16.  Merenstein GB, Adams K, Weisman LE. Infection in the neonate. Dalam: Merenstein GB, Gardner SL, penyunting. Handbook of neonatal intensive care. Edisi ke-5. Philadelphia: Mosby; 2002.h.462-67.
17.  Yabek SM. Management of septic shock. Pediatr Rev. 1980;2:83-7.
18.  Adam D. Infections in Neonates and Prematures. Phil J Microbiol Infect Dis.1992;22(2):32-4.
19.  Infection and immunity. Dalam: Polin RA, Spitzer AR, penyunting. Fetal and neonatal secrets. Philadelphia: Hanley&Belfus; 2001.h.261-71.
20.  Freij BJ, McCracken GH. Acute Infections. Dalam: Avery GB, Fletcher MA, MacDonald MG, penyunting. Neonatology Pathophysiology and Management of the Newborn. Edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins; 1999.h.1196-207.
21.  Hypotension and Shock. Dalam: Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Tuttle D, penyunting. Neonatology management, procedures, on-call problems, diseases, and drugs. Edisi ke-6. United States of America: McGraw Hill;2009.h.324-30.
22.  Stoll BJ, Hansen N, Fanaroff AA, Wright LL, dkk. Changes in pathogens causing early-onset sepsis in very low birth weight infants. New Engl J Med. 2002;347:240-7.
23.  Landry DW, Oliver JA. Mechanisms of disease. New Engl J Med. 2001;345:588-95.
24.  Rai R, Singh DK. Intravenous adrenaline for shock in neonates. Indian Pediatrics. 2010;1-2.
25.  Leone M, Martin C. Rescue therapy in septic shock-is terlipressin the last frontier?. Critical care.2006;10:131-2.
26.  Haque KN. Immuno-modulation in neonatal sepsis: intravenous immunoglobulin therapy in the prevention and treatment of neonatal sepsis: is the answer, yes, no, or don’t know?. Haematologica reports.2006;2(10):38-41.